Oleh: SULAIMAN IBRAHIM
I. Pendahuluan
Di samping Al-Qur’an, hadis juga merupakan sumber
hukum Islam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan tentang kedudukan hadis
sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an.[1]
Kedudukan hadis sebagai sebagai salah satu sumber hukum Islam telah disepakati
oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam.
Amat banyak kasus-kasus
hukum yang bersumber dari hadis, karena sebagaimana dipahami bahwa salah satu
fungsi hadis adalah penjelas (bayān) atas Al-Qur’an, maka tentu saja
untuk kasus-kasus tertentu yang penjelasan tentangnya dalam Al-Qur’an bersifat
global, dapat ditemukan rinciannya dalam hadis. Hal ini tidak dapat dipungkiri,
misalnya Al-Qur’an menjelaskan shalat, puasa, dan zakat, maka untuk mengetahui
cara shalat dan dimensi hukumnya, juga puasa dan zakat semuanya dapat diketahui
melalui hadis. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat strategis
dalam menjelaskan kandungan Al-Qur’an.
Secara tegas dikatakan dalam
Al-Qur’an bahwa Nabi saw (yang identik dengan hadisnya) diberi kewenangan dalam
menjabarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Dimaklumi
bahwa Nabi saw sebagai pemimpin masyarakat muslim, atau lebih tegas bahwa Nabi
saw sebagai kepala pemerintahan, berkewajiban menerapkan hukum-hukum Tuhan,
tidak hanya dalam lingkungan masyarakat muslim tetapi juga dalam masyarakat non
muslim yang berada dalam lingkungan kekuasaannya.
Lebih lanjut menurut Yusuf
al-Qardhawi minimal tiga fungsi hadis terhadap Al-Qur’an dalam masalah hukum
yakni; (1) memperkuat hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik yang global
maupun yang detail; (2) menjelaskan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an,
yakni men-qayyid-kan yang mutlaq, men-tafshil-kan yang mujmal,
dan men-takhsis-kan yang ‘am; (3) menetapkan hukum yang tidak
disebutkan oleh Al-Qur’an. Untuk fungsi yang terakhir ini, ulama berbeda
pendapat.[2]
Berdasar pada uraian-uraian
di atas, maka dipahami bahwa Al-Qur’an dan hadis adalah sumber hukum yang
integral, tidak mungkin seorang muslim memahami hukum atau ajaran Islam hanya merujuk
kepada Al-Qur’an semata tanpa melirik hadis.
A. Metode Kajian Hadis di Indonesia
II. Pembahasan
Dalam beberapa literatur hadis yang berbahasa
Indonesia, metode kajian hadis yang dilakukan oleh Kiai, Ulama, Cendekiawan
maupun dunia Akademisi tidak ada perbedaan yang dilakukan oleh ulama-ulama yang
ada di Timur Tengah saat ini. Walaupun ada, itupun hanya karena faktor
keterbatasan bahasa dan literatur yang dimiliki. Karena ulama yang ada di Indonesia,
sebagian besar pendidikannya juga berasal dari Timur Tengah, seperti Mesir,
Yordan, Sudan, Syiria dan Arab Saudi. Memang diakui, walaupun mayoritas
masyarakatnya beragama Islam,
Indonesia tidak
bisa dijadikan tolok ukur sebagai pusat ilmu atau kajian agama, apalagi ilmu
mengenai al-Qur’an dan hadis. Sebagian besar kitab-kitab hadis yang ada di Indonesia
hanya sebatas buku dakwah atau salinan hadis-hadis tertentu dan untuk masalah
tertentu. Hal ini dimungkinkan, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
1. Hadis-hadis Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun
Nashihin, keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban
dan Ramadhan.
Buku ini ditulis oleh
al-Ustadz Ahmad Lutfi Fathullah, yang merupakan suntingan dari disertasi Doktor
beliau di Universitas Kebangsan Malaysia
(UKM). Secara keseluruhan, buku ini menfokuskan pada studi sanad hadis dan
mentakhrijnya serta menghukum status hadis-hadis tersebut sesuai dengan metode
ahli hadis, seperti: bersambungnya sanad, parawinya adil, dhabit, tidak Syudzudz,
dan tidak illat. Dalam buku tersebut sebagian besar hadis dihukumi
dengan maudhu’ (palsu).
Memang beliau diakui
keseriusan dan ketelitiannya dalam menulis disertasi tersebut. Tetapi menurut
penulis, tidak disentuhnya matan hadis dalam kajian kitab Durratun Nashihin
menyebabkan kurang komplitnya pembahasan hadis-hadis tersebut. Karena ada juga
hadis yang dihukumi shahih tapi tidak adanya penjelasan menyebabkan
kesimpangsiuran dalam memahami hadis tersebut. Dan ini menurut orang “awam”
menjadi kelemahan suatu hadis bila hanya didekati dengan kritik sanad, Seperti
dalam hadis: لا
فرع ولاعتيرة hadis ini dihukumi dengan hadis Shahih
karena diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,[3]
tetapi tidak adanya penjelasan matan hadis sehingga kurang menyentuh dalam
pemahaman pada masyarakat awam.
2. Studi Kritis Hadis Nabi Saw, Antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual
Buku di atas ditulis oleh
Syaikh Muhammad al-Ghazali yang diterjemahkan dari kitab al-Sunnah
al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits. Berbeda dengan pembahasan
sebelumnya, kitab ini justru memfokuskan pada matan hadis, sehingga terkesan
ada penyampingan terhadap sanad. Muhammad al-Ghazali dalam buku tersebut banyak
mengkritik hadis-hadis yang dianggap shahih tapi bertentangan dengan realitas
maka dia anggap hadis tersebut “tidak” relevan. Dan Muhammad al-Ghazali menyatakan
dengan tegas bahwa hadis kalau bertentangan dengan al-Qur’an harus ditolak,[4]
sebagaimana Aisyah R.a. menolak hadis yang disampaikan oleh Abu Huraerah bahwa
Nabi bersabda “Sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan keluarganya”.
Dan masih banyak contoh lain yang bisa dibaca dalam kitab tersebut.
3. Koleksi hadits-hadits Hukum karya Tengku Hasbi
Asshidiqiy
Buku ini berisi tentang
kajian hukum Islam yang diperkuat oleh hadis-hadis Nabi. Satu tema biasanya
berisi dari empat sampai lima
masalah dan terdiri dari 16-100 hadis Nabi. Hasbi mengawali tulisannya dengan
menyebutkan judul atau tema tertentu, kemudian mengutip suatu hadis dengan
memberikan nomor urut hadis dalam buku tersebut sebelum kutipan hadis itu
sendiri. Dalam mengutip hadis, Hasbi tidak menyertakan sanad secara lengkap.
Dia hanya menyebutkan sumber primer hadis itu, seperti Abu Hurairah, Ali bin
Abi Thalib, Aisyah, Anas, Tsauban dan sebagainya. Setelah mengutip beberapa
hadis, barulah Hasbi menjelaskan maksud dan pengertian hadis secara singkat
disusul kutipannya terhadap pendapat para ulama tentang syarah hadis tersebut,
seperti Ibnu Bathal, al-Thabrani, al-Nawawi dan lain-lain. Karena Hasbi
mengoreksi hadis-hadis hukum, dia juga mengutip pendapat-pendapat para Imam
Mazhab agar para pembaca dapat membandingkan berbagai pendapat dan menjadi
pegangan yang benar bagi mereka. Selain itu Hasbi juga menilai atau mentahkik
mana pendapat-pendapat tersebut yang dianggap kuat dan layak untuk diikuti.
Jumlah bilangan hadis dalam
buku Hasbi ini cukup banyak. Di dalamnya terdapat juga hadis-hadis lemah.
Sayang sekali, Hasbi tidak menganalisis kedudukan hadis tersebut. Walau begitu,
Hasbi berusaha mengutip hadis-hadis tersebut pada kitab-kitab hadis yang
mu’tabar dan terkenal, seperti mengutip dalam kitab Muntaqa al-Ahbar
karya Imam Majduddin al-Harrani, Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar
al-Asqalani dan Muharrar karya Ibn Qudamah al-Maqdisi.
4. Himpunan
Hadits-hadits Lemah dan Palsu Karya A. Yazid dan Qasim Koho
sebagaimana yang dikemukakan penulis sendiri, ini ini
merupakan hasil kutipan dari beberapa kitab hadis, diantaranya: al-Maudhu’at
karya al-Jauzi, al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’at karya Nashiruddin
al-Albaniy, Maqashid al-Hasanah karya al-Sakhawiy, Mushthalah
al-Hadits karya Abdul Qadir Hasan dan Mizan al-I’tidal karya
al-Dzahabi.
Dalam
pendahuluan penyusun mencoba menjelaskan beberapa hal, diantaranya: sebab-sebab
perbedaan dalam penilaian suatu hadis, yang di mana dalam suatu kitab tergolong
maudhu’, tetapi dalam kitab lain tergolong tidak. Diterangkan juga
mengenai sebab-sebab timbulnya hadis maudhu’, hukum periwayatannya dan
istilah-istilah yang sering dipakai para ulama pada hadis palsu.
Penulis juga memberikan
nomor urut pada hadis yang dikutipnya dari angka satu dan seterusnya, yang
dimulai dari hadis-hadis yang banyak bersinggungan dengan masyarakat secara
luas, seperti dari bab wudhu’ sampai hadis-hadis tentang kepolisian.
Sistematika yang digunakan adalah pengutipan satu atau beberapa hadis dalam
satu tema, lalu memberikan hukum hadis tersebut seperti ungkapan: palsu, la
ashla lahu, syadz atau dha’if jiddan, kemudian penyusun
memberikan komentar dan penjelasan singkat terhadap hadis-hadis tersebut.
Walupun hanya berupa kutipan
dari beberapa kitab hadis palsu, tetapi buku ini setidaknya telah memberikan
kontribusi terhadap perkembangan ilmu hadis di Indonesia.
5. 55 Washiyat Rasulullah yang disusun oleh M. Shaleh Ujaj dkk.
Buku ini berisikan kutipan-kutipan dari kitab al-Targhib wa al-Tarhib
karya al-Mundziri, Riyadh
al-Shalihin karya al-Nawawi dan kitab al-Taj al-Jamil li al-Ushul.
Diakui oleh penyusun sendiri, bahwa washiyat itu pada dasarnya ditujukan
kepada para shahabat Nabi, tetapi hal ini secara umum mencakup segenap umat
Islam. Hadis-hadis dalam kitab ini sesuai dengan judulnya berjumlah 55 hadis
yang berisikan antara lain bentuk keikhlasan dalam pengabdian diri kepada
Allah, penjelasan tentang tahlil, bersedekah, bertasbih, akhlak dan sebagainya.
Satu tema yang dikemukakan berisi satu sampai tiga buah hadis yang dikutip dalam
berbagai riwayat, seperti Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan lainnya.
Penyusunannyapun hanya menambahkan penjelasannya secara singkat.
[2]Yusuf al-Qadhawi, al-Sunnat; Mashdaran lil Ma’rifat wa
al-Hadrahah diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dengan judul As-Sunnah
sebagai Sumber Iptek dan Peradaban; Diskursus Kontekstualisasi dan
Aktualisasi Sunnah Nabi dalam Iptek dan Peradaban (Cet. I; Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 1998), h. 6
[3]Lihat, Ahmad Lutfi Fathullah, Hadits-hadits Lemah dan Palsu dalam
Kitab Durratun Nashihin, Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan, (Jakarta: Darus Sunnah
Press, 2004), h. 41
[4]Lihat Muhammad al-Ghazali, Studi
Kritis Hadis Nabi Saw, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1998) cet. VI, h. 29-32
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya