Oleh: Makmun NawawiDiriwayatkan
dari Abu Dzar ra, ia berkata, “Orang-orang berkata kepada Rasulullah
SAW, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka
mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat dan mereka berpuasa
sebagaimana kami berpuasa. Tetapi, mereka bersedekah dengan kelebihan
harta mereka’.
Nabi bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan
sesuatu yang dengannya engkau bisa bersedekah? Sesungguhnya setiap
tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil
adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah, dan bersetubuh
(dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
apakah salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan ia
melampiaskan syahwatnya?’ Rasulullah bersabda, ‘Bukankah seseorang yang
menyalurkan syahwatnya pada yang haram ia memperoleh dosa? Demikian pula
jika ia menempatkan syahwatnya pada yang halal maka ia pun akan
mendapatkan pahala’.” (HR Muslim).
Ketika kita diserbu oleh
pesona iklan yang luar biasa dari banyak produk, impian pun melambung
tinggi untuk segera memilikinya, seperti rumah, kendaraan, elektronik,
atau perkakas rumah yang serbamewah. Ketika gaya hidup mewah sudah
menyergap, korupsi menjadi mata pencaharian, maka banyak orang yang
berada di bawah garis kemiskinan, hanya bisa gigit jari. Ada yang
apatis, muak, jengah, namun tak urung ada pula yang terjerat dalam
hayalan yang berkepanjangan.
Di tengah interaksi kehidupan Nabi
dan para sahabatnya, bukan tidak ada orang yang kaya raya. Namun,
bagaimana kekayaan yang mereka miliki justru dipersembahkan untuk
sesuatu yang lebih agung, lebih luhur, dan abadi, yakni di jalan Allah.
Sehingga, cita-cita dan obsesi para sahabat yang miskin yang melihatnya
pun bukan untuk memiliki harta yang melimpah ruah, kendaraan yang mewah,
istana yang megah, atau baju yang indah seperti mereka. Namun,
bagaimana mereka juga bisa beramal seperti sahabat yang kaya demi
kebahagiaan di akhirat. (QS al-A‘la: 16-17, dan adh-Dhuha: 4).
Hadis
di atas mengajarkan kepada kita bahwa dimensi ibadah dalam Islam itu
begitu luas. Bukan hanya sebatas harta, namun juga menjangkau banyak
sisi kehidupan yang nyaris semua orang bisa melakukannya, tergantung
lemah dan kuatnya niat. Jika tidak kuat secara materi maka bisa melalui
fisik, pikiran, atau apa pun yang kita mampu. Bukankah tasbih, tahmid,
dan tahlil nyaris tidak membutuhkan pengorbanan fisik dan materi sedikit
pun dari pelakunya? Demikian pula amar makruf nahi mungkar.
Bahkan,
ketika sepasang suami-istri menunaikan haknya masing-masing, di mana
mereka bisa mereguk nikmatnya berkeluarga, justru di situ pun terbentang
pahala. Karena, ketika hal itu disalurkan kepada yang haram maka
pelakunya akan menuai dosa.
Demikian pula dengan perilaku seseorang ketika makan, minum,
berbisnis, berjalan, belajar, bekerja, berbicara, menelepon,
facebook-an, chatting, berinteraksi dengan sesama, dan aktivitas
lainnya, semua itu tetap bernilai ibadah, sepanjang berada dalam koridor
yang halal, menjalankan ketaatan, atau menghindari larangan. Karena
itu, banyak ruang dan tempat untuk meraih keridaan Allah. Wallahu a‘lam
bish-shawab. Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya