Oleh: Sulaiman Ibrahim
Sejak sebulan terakhir ini, berbagai peristiwa
yang memprihatinkan hampir setiap hari terjadi di hadapan mata kepala kita, Mulai dari korupsi di MK, pembunuhan di Apartement,
oknum polisi salah tembak, pesta miras yang merenguk enam jiwa, sampai tawuran
pelajar menggunakan air keras untuk melukai orang lain. Sementara itu,
benak kita pun telah dipadati oleh berbagai masalah-masalah kehidupan, dan berbagai
produk industri yang ditawarkan semakin gencar merangsang kebutuhan. Akibatnya hampir semua orang berusaha
keras untuk mencapai citra tertentu di hadapan masyarakat apakah itu kedudukan,
kekayaan, popularitas dan sebagainya. Adapun
informasi Allah berupa al-Qur’an sudah tidak lagi menjadi perhatian utama dalam
hidup, karena telah begitu berdamai dengan kehidupan dunia ini.
Di balik segala peristiwa yang terjadi
ini, kita sesungguhnya sedang ditanya oleh Allah tentang hubungan kita
kepada-Nya. Apakah orientasi atau motivasi hidup kita betul-betul tertuju hanya
kepada Allah semata, sebagai suatu komitmen insan beriman yang telah memilih
hidup dan mati hanya untuk Allah.
Menghayati
kenyataan ini mengingatkan kita kepada Baitullah yang merupakan kiblat umat
Islam seluruh dunia yang menjadi arah shalat. Kita shalat bukan menyembah
ka’bah, melainkan beribadah kepada Allah dengan arah dan tujuan yang sama. Kita
berhaji bukan sekedar untuk rekreasi atau melancong, tetapi bagaimana kita
mendekatkan diri kepada Allah Sang Khalik.
Sebenarnya haji merupakan gladeresik atau latihan untuk
kembali kepada Allah. Haji adalah latihan kematian kita karena kita meninggalkan
tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan tetangga, dengan niat yang satu,
yaitu ingin memenuhi undangan Allah Swt. Simbolisme haji ditandai oleh kesediaan
seseorang untuk berkurban. Bentuk simbolis itu diwujudkan dengan menyembelih seekor binatang kurban
yang dagingnya dibagikan dan disedekahkan kepada orang-orang miskin.
Penyembelihan binatang kurban secara simbolik melambangkan kesungguhan hati
manusia untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, karena
kalau nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia tidak disembelih dan
dikorbankan, maka akibatnya akan merusak, baik merusak dirinya sendiri maupun
akan merusak orang lain yang ada disekitarnya.
Ibadah haji yang sedang dilaksanakan
umat Islam saat ini adalah juga suatu bimbingan moral dan etika Islam bagi
orang-orang beriman. Ibadah haji adalah juga suatu institusi keimanan, untuk
kita memperbaiki keadaan diri kita, yang juga berarti demi kebaikan masyarakat
Islam agar tidak terperangkap dalam budaya tanpa norma (anomik)
Pakaian ihram mengajarkan kepada kita
bahwa nilai kehidupan ini hendaknya semata-mata diukur dan bertujuan kepada
Allah, bukan untuk berbagai atribut jabatan, kemasyhuran, kebanggaan dan
perhiasan dunia. Wuquf di Padang Arafah melambangkan agar kita merenungi diri
untuk apa kita hidup dan kemana kita akan pergi setelah kematian.
Dengan demikian, kita tidak akan cinta
terhadap dunia secara berlebihan karena telah menyadari bahwa kita diciptakan
oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Melempar Jumrah akan mendidik kita
bermental anti dosa, anti syaitan dan begundalnya, serta membuang segala
prilaku buruk yang pernah kita lakukan, serta tidak mudah terpegaruh oleh tipu
daya duniawi yang menyesatkan. Dari sini akan terbina sifat ikhlash, jujur, dan
suka kepada kebaikan. Begitupun thawaf di Ka’bah, akan membimbing kita
agar segala usaha dan upaya kita, segala langkah dan perbuatan dalam hidup kita
adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebagai jaminan harkat diri kita
kelak di hadapan-Nya.
Ibadah haji adalah juga refleksi aqidah
yang telah teruji kemampuannya atau juga suatu komitmen pengabdian diri kepada
Allah, bukan rekreasi ritual atau sekedar mencari keamanan semu di hadapan
Allah. Ibadah ini mengandung pengertian yang dalam dan suci. Karena itu, mabrur
tidaknya seseorang dalam melaksanakan ibadah haji akan diuji prilakunya dalam
usaha kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, siapapun di antara kita
yang sudah melakukan ibadah ini hendaknya merenungi ulang keadaan dirinya dan
melakukan evaluasi hubungan hidupnya dengan Allah, agar tidak menjadi pendusta
di hadapan-Nya, yang menjadikan predikat haji di depan namanya sebagai selubung
kebobrokan dan keburukan prilaku yang dilaknat oleh Allah.
Dalam
hal ini, semangat berkurban dengan menyembelih nafsu kebinatangan dalam diri
kita masing-masing, menjadi suatu yang amat penting untuk menjaga keutuhan
bangsa dan negara menuju masa depan yang lebih baik. Karena hanya dengan
kesediaan mengorbankan egoisme kekuasaan, kepentingan kelompok, dan fanatisme
kesukuan dan keagamaan, maka pluralisme dalam berbagai aspeknya, baik dalam
segi sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, maupun agama, akan dapat
terjaga dan akan memperkaya kehidupan spritualitas bangsa. Semoga Idul Adha
tahun ini memberikan kita pencerahan menuju masa depan yang lebih baik. Amin.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1434 H.[]
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya