Manusia pada eksistensinya di
dunia, sebagai khalifah untuk menjaga, memelihara dan mengelola alam beserta
isinya, utamanya manusia dengan manusia lainnya. Hal inilah manusia diberikan
akal budi untuk berpikir mencari kepuasan dari perbuatannya atau mencari mana
yang baik dan buruk dan sekaligus menunjukkan bahwa manusia sangat erat
hubungannya dengan moralitas.
Dari awal sampai sekarang
dalam perkembangan ke-hidupan bumi, manusia telah banyak mengalami per-kembangan,
evolusi pemikiran dan perubahan tatanan
kehidupan, sehingga timbul berbagai pergolakan baik di bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, utamanya integrasi manusia dengan sesamanya. Hal ini perlu dicermati dan dikaji, persoalan
yang satu (individu) membantai yang lainnya, atau sebaliknya sekelompok gerakan
(kolektif) membantai kelompok yang lainnya, hal ini menjadi pergolakan
egoistis, yang tidak melihat kebenaran, pentingnya solidaritas dalam kehidupan,
keselarasan diantara keduanya termasuk keselarasan seluruh umat manusia.
Pada prinsipnya, manusia dalam
perbuatan dan kehendaknya mengarah pada suatu titik (tujuan) yang tinggi
(esensi), Aristoteles menandaskan bahwa perbuatan manusia bagaimanapun mengejar
sesuatu yang baik. Baik adalah sesuatu yang menjadi arah semua hal, sesuatu
yang dikejar atau dituju, dan tujuan adalah sesuatu yang untuknya sesuatu itu
dikerjakan.
Manusia adalah makhluk
sosial yang tidak dapat hidup tanpa ketergantungan dengan orang lain, hidup
berbagai rahasia yang banyak ragam dan misteri, maka manusia perlu persatuan
dan saling tolong menolong. Gabriel Marcel (1889-1973), menjelaskan dan
keterikatan antara sesama manusia adalah:
“Aku hanya mungkin mencapai
kesempurnaan, kalau ia mengarahkan dirinya kepada orang lain, sehingga tanpa
menghayati itu hidupnya mustahil memadai bagi panggilannya yang paling inti. Aku
dan Engkau saling menghidupi, sehingga pada hakikatnya mereka tidak
dapat dicairkan satu dari yang lain. Mereka dapat memberi wujud kongkrit kepada
saling terjalinan mereka dan kesetiaan dan cinta. Menurut Marcel, kesatuan
antara Aku dan Engkau dapat menghasilkan kepenuhan hidup sebagai
manusia yang merupakan penyinaran intinya yang paling dalam, yang pada
gilirannya memantulkan keterjalinan Aku dan Engkau yaitu Allah ”.[1]
Manusia (individual) hidup berkumpul dalam
lingkungan masyarakat (kolektif), yang dalam sejarah dikatakan bahwa mulai dari
zaman Yunani Kuno (dimana masa ini persoalan kemasyarakatan sudah menjadi
perhatian, namun belum menjadi pusat perhatian sepenuhnya), sampai sekarang
abad moderen, persoalan kemasyarakatan menjadi ciri khas para filusuf, utamanya
persoalan moralitas yang menjadi bagian dari persoalan etika sebagai bagian
yang sangat penting, mengingat kehidupan masyarakat yang serba pluralistik,
membutuhkan perhatian yang serius dan perlu penyelesaian.
Emile Durkheim merupakan
salah seorang dari tiga tokoh yang dikenal sebagai pendiri dan peletak dasar
sosiologi bersama Karl Marx dan Max Weber dalam berbagai penelitian aspek-aspek
sosial. Namun tidak perlu disangkal, dalam konseptual pemikirannya tidak banyak
persamaan, bahkan Durkheim banyak menentang sosialisme yang “Revolusioner” dari
Marx
Karl Marx menempatkan kerja
dalam konteks keseluruhan hidup manusia, sehingga ia berpendapat bahwa pada
hakikatnya manusia adalah “pekerja”, mengingat bahwa pada dasarnya
segala-galanya berakar pada materi, jadi kerja tidak hanya merupakan
inti dari individual, tetapi menerangkan dia dengan kolektifitas besar yaitu
umat manusia beserta sejarahnya. Atau dengan kata lain, Marx cenderung melihat
masyarakat sebagai wahana dan sekaligus mekanisme penyangga dari berbagai
konflik.
Durkheim sangsi akan teori
Marx di atas (revolusioner) sebagai cara pemecahan yang tepat dalam mengatasi
masalah-masalah sosial yang bergejolak. Menurutnya masyarakat memerlukan
peneguhan dasar “moralitas” yang baru,[2] Konsensus
yang dimaksud adalah “persepakatan” atau kesepakatan kehendak antara dua
orang atau lebih untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Demikian halnya dalam
persoalan “perilaku sosial” Max Weber memandang lain dari Durkheim, bagi Weber
adalah:
“Prilaku sosial bukanlah
struktur-struktur sosial yang pertama-tama menghubungkan orang atau menentukan
isi corak kelakuan mereka, melainkan arti-arti yang dikenakan orang-orang
kepada kelakuan mereka.”[3]
Durkheim dengan sosialismenya dalam sosiologi moderen,
menjelaskan pola-pola interaksi sosial antara seseorang dengan yang lain,
melainkan berdasar pada tugas-tugas, kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan
yang dikenakan oleh kolektifitas yang berlaku pada anggotanya (individu).
Dari berbagai paparan
singkat di atas, nampak kepada kita, akan perjuangan Durkheim dalam merintis moralitas,
khususnya di Perancis sebagai bagian Eropa yang mengalami situasi transpormasi
sosial yang juga dialaminya pada masa itu.
Dalam konsep pemikiran
Durkheim ada hal yang unik untuk dicermati, persoalan-persoalan ketimpangan
sosial memerlukan moralitas, yang arah pemikirannya yaitu dengan jalan
Positivisme yang murni, Ilmiah Rasionalis dan Sekuler, sehingga memandang
tentang “Ilmu Moralitas” sebagai:
“Ketentuan moral dan hukum, pada dasarnya me-mantulkan keperluan sosial
yang hanya bisa di-masukkan oleh masyarakat itu sendiri-sesuatu yang
berdasarkan pada pandangan “kolektif”, maka bukanlah tugas kita untuk
mendapatkan (ketentuan) etik dari ilmu pengetahuan, melainkan membentuk suatu
ilmu tentang etika”.
Demikian pula moralitas baginya, bukanlah saja sesuatu yang
deduktif, melainkan sesuatu yang berangkat dari kenyataan empiris dan ilmiah
serta bercorak pasca pengalaman.
Dengan gagasan filosofisnya ini, Ia nampak sebagai
seorang yang konservatif, yang ingin ketentuan sosial berdasarkan ketentuan
kolektif (kesadaran), dan tidak ingin kembali pada ketentuan sosial yan lama
dan juga sebagai orang yang progresif yang mencari dasar baru dari solidaritas
sosial.
Persoalan moral dalam Islam, yang lebih dikenal
dengan istilah “akhlak”, dalam hal ini menganut suatu tata aturan (ajaran
moral) tersendiri (moral keagamaan Islam), yang dengan pasti tidak akan lepas
dari pedoman ajarannya yaitu Alqur’an dan Hadis, karena diyakini bahwa Alqur’an
diturunkan kepada Nabi pilihan Tuhan Yang Maha Muliah, untuk memberikan
petunjuk kehidupan bumi, termasuk persoalan prilaku kehidupan manusia (sosial),
sebagaimana dalam sabdanya:
“Telah
sampai kepadaku kabar; “Bahwa sesungguhnya Rasullah saw. menyampaikan: Bahwa
diutusnya beliau untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Secara teoritis dan
konseptual, umat Islam yakin akan eksistensinya itu, sebagai rambu, jalur yang
menuju pada hakikat manusia, yang namun tidak perlu dipungkiri dalam ajaran ini,
wahyu, akaliah dan kekuatannya tetap diakui eksisitensinya serta
kapasitasnya dalam melihat fakta realitas yang bergejolak sebagai fenomena
kehidupan yang dinamis dialam semesta.
[2]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim
dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Edisi I (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1988), h. 7
[3]K.J. Veeger, Realitas Soaial; Refleksi Filsafat
Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sosiologi (Cet. III;
Jakarta: Gramedia, 1990), h. 175
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya