Senin, 6 Desember 2010 | 04:07 WIB
Komaruddin Hidayat
Selain predikat sebagai homo religiousus, manusia juga dijuluki sebagai homo viator atau peziarah hidup.
Tulisan ini akan membincangkan manusia sebagai homo festivus, karena kita semua senang mengadakan festival yang terkait erat dengan aktivitas keberagamaan dan memaknai hidup sebagai sebuah ziarah.
Dalam sejarah, festival selalu mengacu pada pesta perayaan keagamaan, meskipun kemudian cenderung bersifat profan, tidak lagi berhubungan dengan agama. Semua agama punya tradisi festival, sebuah seremoni bersifat publik untuk memuja Tuhan yang dipelihara umatnya.
Dalam festival keagamaan terdapat enam elemen pokok. Pertama, untuk mengenang dan mengenalkan tradisi keagamaan agar generasi berikut dapat memahami dan ikut merawatnya. Kedua, membangkitkan kembali nilai-nilai dan semangat perjuangan hidup. Ketiga, membangun kohesi dan solidaritas sesama umat agar lebih solid. Keempat, sebagai hiburan agar kehidupan beragama juga bernuansa kebudayaan yang menggembirakan. Kelima, ada ritual-ritual pokok yang sudah baku dengan kostum unik dan khas. Keenam, merayakan kehidupan sebagai ekspresi rasa syukur kepada Tuhan.
Agama-agama besar dunia, seperti Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, Islam, dan paham kepercayaan lain seperti Konfusianisme, Taoisme, Shintoisme, dan Baha’i masing-masing memiliki tradisi perayaan hari besar keagamaan. Agama Hindu sangat kaya dengan perayaan keagamaan meskipun sebagian besar berlangsung lokal, terutama upacara doa dan syukur berkaitan dengan hari panen. Di Bali, tiada hari tanpa membuat sesaji.
Perayaan umat Buddha yang paling meriah adalah hari Waisak untuk memperingati hari kelahiran, pencerahan, dan kematian Buddha yang terjadi dalam hari dan bulan yang sama antara Mei dan Juni. Mereka menghias kuil dan rumah dengan lilin dan lampu sebagai lambang pencerahan Buddha.
Hari raya umat Kristen yang paling menonjol adalah Natal, Paskah, dan Pantekosta. Hari Natal diyakini sebagai kelahiran Yesus Sang Penebus yang disambut dengan sukacita: menghias rumah dan saling bertukar hadiah. Perayaan Paskah menyambut kebangkitan Yesus memasuki kehidupan baru. Empat puluh hari setelah Paskah, umat Kristen merayakan Pantekosta, memperingati kehadiran Roh Kudus pada umat Kristen perdana di Jerusalem. Kehadiran Roh Kudus diyakini sebagai pengganti Yesus Sang Penolong bagi umat Kristen hingga hari ini.
Mengingat penduduk Indonesia mayoritas memeluk Islam, maka perayaan hari besar agamanya paling meriah, misalnya hari raya Idul Fitri dan hari raya haji. Belum lagi hari-hari lain yang juga setiap tahun dirayakan, seperti kelahiran Nabi Muhammad dan turunnya Al Quran. Festival keagamaan sekarang tambah meriah dengan hari raya Imlek oleh pengikut Konfusianisme.
Demikianlah, Indonesia mungkin sekali merupakan bangsa yang paling senang menyelenggarakan upacara dan festival keagamaan serta memiliki hari libur keagamaan paling tinggi di dunia. Dengan festival itu, emosi dan tradisi keagamaan dilestarikan serta diwariskan dari generasi ke generasi. Baik pemerintah maupun sekian banyak lembaga keagamaan turut meramaikan dengan biaya fantastis.
Agama festival
Tiada agama tanpa upacara dan festival. Dalam festival keagamaan sakralitas dan profanitas menyatu. Antara nilai-nilai agama dan budaya saling mengisi. Melalui wadah budaya, nilai-nilai agama diekspresikan dan dilembagakan sehingga masyarakat mudah memahami dan menerimanya. Budaya masyarakat yang beragam membuat ekspresi dan festival keagamaan juga beraneka. Agama yang diyakini datang dari sumber Yang Satu menjadi semarak dan beragam, ibarat pantulan cahaya lampu kristal atau warna-warni pelangi. Esensi cahaya dan air adalah sama, tetapi ekspresi warna bisa beda karena dilihat dari perspektif berbeda.
Dalam festival agama selalu didapati aneka macam simbol dan aksesori budaya. Misalnya, para imam mengenakan kostum yang khas dalam upacara keagamaan, beragamnya adegan, doa, dan aturan dalam upacara haji. Haji merupakan festival keagamaan paling akbar dan berulang tiap tahun. Di situ nilai dan keyakinan agama berbaur dengan dimensi-dimensi kultural. Orang berhaji tidak hanya beribadah, tetapi ada unsur rekreasinya. Fenomena ini pasti juga terjadi pada agama lain.
Disadari atau tidak, sering kali acara festival yang berdimensi budaya malah lebih diperhatikan ketimbang esensi pesan agamanya. Maka yang lebih fenomenal adalah agama festival, bukannya festival keagamaan. Ini juga terjadi pada komunitas agama di mana saja. Festival tahun baru di Barat semakin hilang dari penghayatan agama. Di Bali beberapa adegan tari yang semula dianggap sakral sekarang untuk konsumsi turis. Di beberapa daerah pesta Lebaran telah berubah jadi ajang budaya yang jauh dari pesan agama.
Acara halal bihalal oleh sebagian komunitas benar-benar telah jadi ritual budaya. Semua ini tentu saja memperkaya tradisi lokal dan nasional. Agama melahirkan festival budaya, tetapi pada urutannya festival yang semula religius cenderung menjadi profan.
Jangan pentingkan festival
Mengingat masyarakat Indonesia sangat majemuk dan kaya tradisi keagamaan, lama-lama akan terlembaga ”agama festival”. Yang penting festivalnya. Bukankah masyarakat kita memang dikenal santai, senang kumpul-kumpul, dan akomodatif terhadap berbagai unsur agama dan budaya sehingga melahirkan budaya eklektik, sinkretik, dan entah apa lagi?
Acara festival semakin beragam dan mapan ketika negara campur tangan dan menyediakan anggaran. Dari pemerintah pusat sampai daerah, berapa miliar rupiah dana dikeluarkan untuk upacara? Agar ada nuansa keagamaan, setiap upacara dibuka atau ditutup dengan doa, terlepas khidmat atau tidak. Di sisi lain, ketika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, sekarang sering tidak semangat dan tidak kompak. Artinya, ruh kebangsaan dan keagamaan semakin hilang dari serangkaian upacara kenegaraan dan festival kebudayaan.
Ketika nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, dan ketuhanan telah hilang dari sebuah festival, maka yang terjadi adalah sebuah pameran hedonisme yang dikemas oleh logika industri dan disponsori penguasa demi pencitraan belaka. Simbol dan retorika agama terkesan meriah dalam setiap festival keagamaan, tetapi nilai-nilai dan pesan agama serta kemanusiaan sebagai kekuatan yang membebaskan dan memperkuat kohesi sosial tidak tercapai. Maka festival sebagai sarana revitalisasi perjuangan hidup agar lebih produktif dan bermakna pun menguap, padahal biayanya sangat mahal.
Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah (sumber kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar