Tradisi lebaran, konon, hanya ada di negeri kita, negeri mayoritas dan terbesar muslim di dunia. Menurut sosiolog Imam B. Prasojo, lebaran merupakan tradisi keagamaan yang telah bercampur dengan budaya lokal. Salah satu kebiasaan yang paling menonjol pada setiap menjelang dan saat lebaran adalah adanya ritual pulang kampung secara massif dengan alasan utama untuk bersilaturrahmi dengan sanak keluarga dan handai taulan. Di Amerika ada tradisi yang memiliki kemiripan dengan pulang kampung, yaitu thanksgiving day, namun kondisinya tidak sama dengan di Indonesia karena asal-usul keluarga yang dikunjungi telah banyak yang pindah kota.
Banyak analisis yang dikemukakan para ahli kenapa tradisi pulang kampung hanya ada di negeri kita. Ada yang menyebut karena kegagalan pembangunan yang hanya berfokus pada kawasan perkotaan, sehingga banyak orang yang mencari penghidupan di sana. Karena berpisah dengan keluarga yang berada di kampung dalam waktu lama, maka momen penting untuk bertemu mereka adalah ketika lebaran tiba. Tapi ada juga yang mengatakan karena alasan agama, yaitu anjuran Islam untuk saling memaafkan dan saling bersilaturrahmi (menyambung hubungan baik) kepada sesama, terutama lingkungan terdekat.
Di Arab Saudi, tempat lahirnya Islam, tidak mengenal tradisi ini, dan tentu saja pemerintahnya tidak pusing menangani transprotasi massal arus mudik dan balik lebaran. Bagi warga Arab Saudi, hari lebaran yang sesungguhnya adalah ketika Idul Adha (musim haji) tiba. Sementara di Mesir, sehabis umat Islam melakukan shalat Idul Fitri, nampak kerumunan para anggota keluarga yang bercengkerama menghabiskan waktu bersantai di tempat-tempat hiburan. Di negeri kita, kebiasaan seperti di Mesir dilakukan oleh sebagian komunitas etnis Madura yang berada di Jakarta dan sekitarnya yang memadati TMII dan Ancol di hari lebaran pertama untuk berekreasi dan bercengkerama bersama keluarga.
Namun demikian, dari tradisi lebaran yang memiliki corak unik dan massif ini menyimpan nilai agung, yaitu misi kemanusiaan yang patut mendapat perhatian, yaitu:
1. Lebaran yang dirayakan oleh umat Islam Indonesia setiap tahunnya telah menjadi milik semua umat yang ada di negeri ini. Bukan hanya Islam, umat Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu mendapat “berkah” lebaran, seperti bisnis pakaian, makanan, transportasi, dan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan lebaran. Hampir semua umat merasakan kebahagiaan lebaran karena massifnya kebutuhan sosial antara satu dengan yang lain.
2. Momen lebaran yang dibarengi dengan tradisi Halal Bihalal bertujuan untuk mempererat silaturrahmi antar sesama. Tradisi ini seperti telah menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat Indonesia yang tidak saja melibatkan umat Islam, namun juga semua kalangan dari semua agama. Bahkan tradisi ini dilakukan pada tingkat pemerintahan, mulai daerah sampai pusat, kalangan swasta maupun di lingkungan masyarakat sendiri dengan berbagai aktifitas keagamaan, seperti pengajian akbar, dzikir akbar dan lain-lain. Uniknya, tradisi Halal Bihalal ini seperti menjadi medium komunikasi antara sesama yang tidak mengenal sekat apapun. Bahkan orang yang tidak pernah melakukan kesalahan atau tidak kenal sekalipun saling bermaaf-maafan.
3. Idul Fitri yang berarti “kembali fitrah” merupakan momen spiritual umat Islam yang menjunjung tinggi kepedulian social, yaitu dengan kewajiban derma berupa zakat fitrah. Manfaat zakat fitrah adalah bagian dari pesan Idul Fitri dimana setiap mukmin yang berpuasa selama sebulan penuh agar terus meningkatkan kualitas kebersamaan, toleransi, dialog, dan saling tolong menolong. Dialog antar agama dan inter agama seharusnya semakin intensif ketika Idul Fitri tiba. Kejadian penusukan yang menimpa seorang jemaat HKBP di bilangan Bekasi pada hari Ahad (12/11/10) yang dilakukan oleh oknum masyarakat patut disayangkan, karena terjadi justru pada saat umat Islam merayakan Idul Fitri. Jika diingat kembali, kerusuhan besar yang melibatkan isyu SARA di Ambon pada awal tahun 1999-an juga terjadi pada saat Idul Fitri. Sementara Idul Fitri merupa momen penting yang perlu dihargai oleh sikap yang toleran, baik umat Islam sendiri maupun umat non-muslim.
Dari ketiga poin tersebut menunjukkan bahwa hari raya lebaran sesungguhnya mengemban misi kemanusiaan yang sangat agung. Bukan sekedar ritual tahunan yang hanya untuk berpesta atau menghabiskan uang untuk kebutuhan-kebutuhan hidup yang tidak perlu, namun harus dimaknai sebagai momen bagi terbangunnya system social yang harmonis, bahagia, adil dan sejahtera. Selamat hari raya lebaran, mohon maaf lahir dan batin. Wallahu a’lam bish-shawab.
(ditulis oleh Thobib Al-Asyhar adalah pengamat social keagamaan, penulis buku).
pa kabar pak???
BalasHapus