Subuh itu Umar bin
Khattab, seperti biasa menjadi imam shalat subuh di Masjid Nabawi.
Setelah takbiratul ihram, tiba-tiba muncul seorang laki-laki, langsung
menikam dada dan perutnya enam kali bertubi-tubi. Tubuh Umar roboh. Lalu
para jamaah memapahnya ke rumahnya di sebelah masjid.
Dalam
detik-detik kematiannya, yang terpikir oleh Umar adalah bagaimana supaya
sepeninggal dirinya, kekhalifahan lebih baik lagi. Dia melihat ambisi
sahabat-sahabatnya begitu besar, sehingga tidak mungkin menunjuk salah
satu diantara mereka, seperti apa yang dilakukan Abu Bakar As-Sidiq
kepada dirinya.
Situasinya jelas berbeda dengan masa dia
diangkat oleh Abu Bakar As-Sidiq. Pada akhir kepemimpinan Umar, semua
kelompok merasa berjasa menegakkan panji Islam, hingga merasa layak
(berhak) menjadi khalifah menggantikan Umar bin Khattab.
Umar
terbayang dua tokoh, Abu Huzaifah dan Abu Ubaidah, “seandainya salah
satu diantara mereka masih hidup akan saya serahkan kepadanya.”
Tabib
yang memeriksa Umar rupanya sampai pada diagnose akhir, lalu berkata,
“berwasiatlah, ya Amirulmukminin!” Umar tidak tenang. Bukan karena
kematiannya, tetapi karena dia belum menemukan orang yang tepat untuk
menggantikannya. Lalu, orang-orang berkata, “kenapa tidak Abdullah bin
Umar saja yang menggantikan urusan anda.” Umar marah, “sekali-sekali
tidak akan saya serahkan urusan ini kepada orang yang tidak mampu
menceraikan istrinya”.
Akhirnya Umar menunjuk enam orang untuk
memilih satu diantara mereka, yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa’d
bin Abi Waqqas. Alasannya, Umar pernah mendengar Rasul berkata bahwa
mereka adalah penghuni surga. Umar menyuruh Abdullah bin Umar bergabung
untuk mengawasi, tidak boleh dipilih karena dia anak dari Umar bin
Khattab.
Dari kisah di atas, paling tidak ada 3 (tiga) pelajaran
(ibrah) yang bisa kita petik sebagai kriteria memilih pemimpin.
Pertama, integritas agama. Jaminan masuk surga oleh Rasul, bagi Umar
cukup sebagai dasar kualitas agama mereka.
Kedua, Umar tidak
mengangkat anaknya sebagai penggantinya, meskipun umat menganjurkannya.
Inilah satu diantara keteladanan kepemimpinan Umar bin Khattab, dia
enggan melibatkan keluarga untuk urusan “negara,” bukan hanya urusan
kekayaan “negara,” namun juga jabatan, lebih-lebih jabatan nomor satu.
Ketiga,
Umar tidak mengangkat orang yang tidak mampu menceraikan istrinya.
Tentu saja kepada istri yang sudah melakukan kesalahan fatal. Artinya,
Umar tidak mengharapkan pemimpin yang menggantikannya nanti orang yang
tidak tegas. Umar ingin pemimpin berikutnya tegas seperti dia. Seperti
langkahnya yang tidak segan-segan memecat pejabat-pejabat yang tidak
berlaku adil kepada rakyatnya.
Jika kita tengok
pemimpin-pemimpin kita pada setiap levelnya, dari RT sampai Presiden,
sudahkah bebas dari tali hubungan keluarga dan karib-kerabat
(nepotisme)? Apakah pemimpin kita tidak memanfaatkan fasilitas negara,
akses politik dan ekonomi untuk keluarganya? Terakhir, sudahkah tegas
kepada pejabat-pejabat yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyatnya?
(Sumber: republika.co.id)
Oleh: Ayatulloh Marsai
* Penulis adalah Pengajar di Al-Khairiyah Karangtengah Cilegon, Banten
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya