Ketika khalifah Usman (24-36 H / 644-656 M) terbunuh dalam suatu kudeta berdarah yang dilakukan oleh pemberontak dari Mesir, Kufah, dan Basrah, terjadilah kerawanan situasi dalam pemerinatahan Islam, dimana suhu perpolitikan semakin krusial. Sebagai akibatnya, maka pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah (35-40 H / 656-661 M), tidak semulus sebagaimana dua khalifah sebelumnya.[1] Hal ini dikarenakan para sahabat di daerah saling berbeda dalam menentukan sikap dan penilaian terhadap pribadi Ali, yakni ada yang menilainya positif dan ada pula menilainya negatif. Oposisi terhadap Ali semakin meningkat, selain Thalhah dan Zubair berkongsi dengan Aisyah untuk menentang Ali yang melahirkan perang Jamal (36 H), juga pasukan Syiria di bawah pimpinan Mu’awiyah memberontak dengan dalih kegagalan Ali membalas darah Usman terhadap pembunuhnya. Karena itu, mereka enggan membaiat Ali sebagai khalifah (pengganti Usman). Bahkan Muawiyah memproklamirkan dirinya sebagai penguasa tandingan di wilayah Syam.
Dari latar belakang kronologis di atas, melahirkan kontak senjata kedua yang disebut dengan perang Shiffin (37 H). Pasukan Ali tampaknya semula mulai mengungguli lawannya di bidang militer, tetapi ia rupanya lebih mengutamakan kesatuan umat, karena menerima usul konpromi dari Mu’awiyah. Akibatnya kekalahan diplomatik dari pihak Ali, dan akibat lebih fatal, Ali kehilangan legitimasi politiknya dan legitimasi itu beralih ke pihak Mu’awiyah. Kejadian ini terkenal dengan istilah Arbitrase (tahkim), yang menyebabkan sebagian pendukung Ali, melancarkan protes, kemudian membentuk kelompok tandingan yang dikenal dengan kaum Khawarij.[2]
Seusai perang siffin kedudukan Ali semakin menurun, karena selain tekanan dari pihak Mu’awiyah juga dari kelompok Khawarij dan pengikutnya. Sementara itu, Mu’awiyah sangat ditaati perintahnya dan ditambah lagi ketinggian gengsinya dalam bidang politik. Sehingga, meskipun Ali masih hidup dan berkuasa, Mu’awiyah telah diproklamirkan sebagai khalifah di wilayah Khurusan (40 H).[3] Dengan begitu, maka Mu’awiyah telah mengawali suatu episode baru dalam sejarah Islam dan dia lah tercatat dalam sejarah sebagai pendiri Dinasti Umayyah.
Dinasti Bani Umayyah berkuasa hampir satu abad (90 tahun), yakni dalam rentang waktu tahun 41-132 H atau 661-750 M, dengan 14 orang khalifah. Khalifah-khalifah yang dimaksud adalah :
Mu’awiyah I (Ibn Abi Sufyan) 41 H / 661 M
Yazid I (Ibn Mu’awiyah) 60 H / 680 M
Mu’awiyah II (Ibn Yazid) 64 H / 683 M
Abd. Malik Ibn Marwan 65 H / 685 M
Al-Walid I (Ibn Abd. Malik 86 H / 705 M
Sulaiman Ibn Abd, Malik 96 H / 715 M
Umar Ibn Abd. Aziz 99 H / 717 M
Yazid II (Ibn Abd. Malik) 101H / 720 M
Hisyam Abd. Malik 105H / 724 M
Al-Walid II (Ibn Yazid II) 125H / 743 M
Yazid III (Ibn Walid) 126H / 744 M
Ibrahim ibn al-Walid 126H / 745 M
Marwan II (Ibn Muhammad) 127H / 746 M[4]
KEMAJUAN
Antara lain kemajuan utama yang terwujud dalam masa Dinasti Umayyah adalah terciptanya suasana yang kondusip dalam negara dan bersatunya kembali seluruh umat Islam dalam arti berhentinya perang antara rakyat dalam negeri. Karena itulah, pada tahun 41 H dikenal dengan istilah ‘Am al-Jama’ah (tahun persatuan seluruh umat).[5] Hal tersebut tercapai dikarenakan Mu’awiyah (pada awal kepemimpinannya) mampu men-jalankan roda pemerintahan dengan baik, dengan cara menguasai dirinya secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, serta memberikan solusi yang terbaik atas segala permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sikapnya seperti ini, sebagaimana yang ia ucapkan sendiri yakni :
Aku tidak cukup menggunakan pedangku kalau cambuk saja sudah cukup, dan tiada pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai. Andaikata aku dengan orang lain memperebutkan rambut tiadalah akan putus rambut itu. Karena apabila mereka mengencangkanya akan kukendorkan, dan apabila mereka meng-kendorkannya kukencangkannya.[6]
Dengan demikian, daerah-daerah yang dikuasai oleh kaum muslimin pada masa Bani Ummayah adalah Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina Semenanjung Arabia, Irak, sebagian Asia kecil Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbet, Dan Kirgis (di Asia Tengah).
Di samping itu, kemajuan lain yang dicapai oleh Dinasti Umayyah secara garis besarnya ada empat, yakni :
Perkembangan Sastra
Pada umumnya, pemimpin Dinasti Umayyah sangat mencintai syair dan pujaan serta kemegahan, sehingga kesusastraan berkembang pesat pada saat itu. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa aspek sebagai berikut
1. Pertentangan Kabilah, yakni masing-masing kabilah merasa megah dengan unsur sukunya sehingga muncullah para pujangga (penyair) utama untuk membela dan meninggikan kabilahnya masing-masing.
2. Penghamburan uang, yakni para khalifah dan pembesarnya memelihara para penyair khusus dengan gaji / hadiah yang besar. Di samping memberi hadiah yang berganda kepada para pujangga yang mau memuja dan membela rezim mereka.
3. Fanatik Arab, yakni menghidupkan dan mengembangkan nilai-nilai kesusastraan yang terdapat dalam bahasa Arab.
4. Gerakan Adab, yakni adanya hubungan antara orang-orang Muslim dengan bangsa-bangsa yang telah maju, sehingga bagi kaum Muslimin giat menyusun dan membina riwayat Arab, seni bahasa dan hikmah.[7]
Dari keempat hal di atas, menyebabkan bidang kesusastraan pada masa Dinasti Umayyah memeliki keistimewaan tersendiri, yakni terpeliharanya dari bahasa kasar. Dengan kata lain, mereka meng-gunakan bahasa berdasarkan kaidah-kaidah balaghah yang tinggi. Bahkan dalam melantungkan syair-syair tentang khamar pun di-lukiskannya dengan indah dan salah satu judulnya adalah “خمر لزيز”, yang mengungkap keindahan dan kelezatan khamar. Adapun penyair tentang Khamar yang pertama adalah al-Walid bin Yazid.[8]
Di antara penyair yang termasyhur dalam masa ini adalah Nukman bin Basyir al-Anshari (w. 65 H), Ibn Mafragh al-Hamiri (w. 69 H), Abu Aswad al-Duwali (w. 69), Miskin al-Darimiy (w. 90).[9]
Ilmu Pengetahuan
Pemerintahan Dinasti Umayyah yang dibina atas dasar kekerasan dan mata pedang, serta jiwanya yang sangat kental dengan kefilsafatan membuatnya sangat menghormati para cendekiawan sebagai tempat mengadu, bahkan mereka menyediakan dana khsusus untuk para ulama dan filosof.[10] Penghormatan kepada ulama, karena didorong oleh semangat keagamaan mereka, sedangkan penghormatannya kepada filosof karena didorong oleh keinginan mereka untuk menggunakan filsafat guna melawan Yahudi dan Nasrani.
Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan di masa ini adalah Damaskus, Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Kairawan,, Kordova, Granada. Di kota-kota ini, terdapat beberapa cendekiawan yang mendalami ilmu-ilmu keislaman dan melahirkan karya-karya ilmiah.
Ekonomi
Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah Bait al-Mal sebagai kas pembendaharaan negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke Bait al-Mal tersebut yang dikoordinir oleh Diwan al-Kharaj. Hasil bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5 % ke pemerintah, sedangkan pajak untuk setiap transaksi disetor sebasar 10%. Khusus barang dagangan yang nilainya kurang dari 200 dirham tidak dikenakan pajak.[11]
Sumber dana lain untuk pengisian Bait al-Mal ialah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Jumlah pajak yang harus dibayar berpariasi, yakni untuk orang kaya (komlomerat) pajaknya 48 dirham pertahun, untuk kelas menengah pajaknya 24 dieham pertahun, sedangkan untuk orang msikin pajaknya 12 dirham pertahun.[12]
Dana-dana tersebut, digunakan untuk pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur umur di sepanjang jalan, pembangunan pabrik-pabrik. Pemerataan pembangunan bukan hanya pada satu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke daerah-daerah secara adil.
Administrasi Negara
Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Ummayah terbentuk dalam empat departemen pokok (diwan) atau lebih tepatnya empat kementrian, yakni :
1. Kementerian Pajak Tanah (Diwan al-Kharraj), petugasnya adalah pegawai resmi (Shahib al-Kharraj) dengan tugas mengawasi Departemen Keuangan.
2. Kementerian al-Khatam (Diwan al-Khatam) yang bertugas me-rancang peraturan pemerintah, mengesahkan dan mengecap/ menyegel. Dalam hal ini, Mu’awiyah adalah orang pertama yang memperkenalkan materai untuk mengirimkan memorandum dari khalifah. Setiap duplikat memorandum itu dibuat, ditembus dengan benang dan disegel dengan lilin dan dipress dengan segel kantor.
3. Kementerian Surat Menyurat (Diwan al-Rasa’il) yang bertugas mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur.
4. Kementrian Urusan Pajak (Diwan al-Mustaghalat).
Disamping keempat kementrian ini, ada pula badan yang tidak kalah pentingnya dibanding kementrian-kementrian yang ada, yaitu badan yang bertugas mencatat setiap peraturan yang dikelola oleh khalifah dengan satu register. Barangkali bisa disamakan dengan kesekretariatan negara di Indonesia dewasa ini.
KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN
Mundurnya suatu dinasti merupakan gejala alamiah sejarah. Usia efektif imperium dinasti adalah tidak lebih dari usia manusia. Masa 100 tahun pada umumnya merupakan waktu yang paling lama untuk dapat diharapkan bagi usia seseorang. Khusus Dinasti Umayyah, rupanya cukup eksis kira-kira hampir 100 tahun hingga dan pada gilirannya ia mengalami kemunduran disebabkan beberapa faktor, sebagaimana uraian berikut ;
1. Sejak berdirinya Dinasti Umayyah, memang telah menghadapi tantangan dan kaum Khawarij yang tidak setuju dengan penyelesaian masalah dengan cara tahkim yang menurut tanggapan mereka tidak berdasarkan atas Alquran. Dengan demikian, sejak berdirinya Dinasti memang sekolompok masyarakat tidak memberikan respon. Bahkan dalam tragedi Karbala, cucu Nabi saw (Husain) ditebas lehernya oleh khalifah Yazid, yang secara otomatis semakin banyak masyarakat kurang simpatik kepada penguasa Umayyah.[13] Dengan begitu, tentu tanda-tanda kemunduran sudah muncul ke permukaan.
2. Seusai Mu’awiyah meninggal, Hijaz berdiri sendiri dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair. Yazid ibn Mu’awiyah kahlifah Bani Ummayah pada waktu itu mengirim tentara ke Madinah dan ke Mekkah. Ketika itu, Ka’bah dibakar dan Hajar al-Aswad pecah menjadi tiga puing.[14] Dengan begitu maka umat Islam secara keseluruhan merasa terhina akibat diporak-porandakan kota suci itu. Sehingga, bertambah menurunlah wibawah kepemimpinan Dinasti Umayyah.
3. Pertentangan tradisional antara suku Arab Utara dan suku Arab Selatan. Dalam hal ini kalau pemerintah memihak kepada suku Arab Utara, tentunya Suku Arab Selatan akan berkberatan, begitu pula sebaliknya. Sedangkan kedua suku ini tidak bisa didamaikan, terbukti sampai akhir masa pemerintahan Dinasti Umayyah antara keduanya selalu kontak senjata.[15] Dengan begitu, maka kondisi dalam negara semakin memburuk.
4. Persaingan di kalangan Dinasti Umayyah sendiri dalam menentukan putera mahkota, karena tidak ada kepastian, apakah turun kepada anak atau saudara kandung yang masih hidup, ditambah lagi dengan kebiasaan hidup mewah di Istana membuat putra mahkota tidak mampu menghadapi beban pemerintahan negara yang besar.[16] Dengan begitu, maka perhatian terhadap negara dinomorduakan.
Data-data di atas, tentu saja menyebabkan Diansti Umayyah mengalami problematika yang sangat besar dan bermuara pada hasil yang sangat negatif. Inilah celah-celah yang mengakibatkan kemundurannya yang berujung pada kehancurannya.
Proses kehancuran Dinasti Umayyah bermula sejak pemerintahan di tangan Yazid, yang diombang ambing oleh gejolak politik yang sangat tidak stabil, yakni sang khalifah bagaikan boneka yang tidak punya wibawa, sehingga mulailah keturunan Bani Abbas melancarkan propoganda dan mengambil kuda-kuda untuk meruntuhkannya. Hal tersebut berlanjut sampai masa pemerintahan Marwan II (Bani Umayyah terkahir). Dalam situasi demikian, maka keturunan Bani Abbas yang memang kelompok oposisi dari keturunan Bani Umayyah, senantiasa mengadakan aksi-aksi dan kerusuhan-kerusahan.
Sebagai akibat dari kerusuhan-kerusuhan ini, Hims dan Palestina mula-mula memberontak di Irak, yang diikuti dengan pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan-perlawanan di berbagai bagian imperium. Pusat kerusahan utama adalah di Khurasa, tempat Bani Abbas memusatkan kegiatannya.
Abu Muslim pemimpin Bani Abbas, memancangkan panji-panji Abbasiyah dan berhasil merebut kota di sebelah Timur. Akhirnya, pada tanggal 25 Ramdahan 129 H / Mei 747 M) tentara Bani Umayyah dipukul mundul dari Herat dan tempat-tempat lainnya di Timur Jauh. Dengan begitu maka titik kehancuran Dinasti Umayyah semakin nampak. Tidak lama kemudian pada bulan Oktober 749 M Abdul Abbas dinyatakan di Mesjid Kufah sebagai khalifah seluruh imperium Muslim.[17] Dari tragedi inilah, Dinasti Abbasiyah mewarisi imperium besar Dinasti Umayyah.
PENUTUP
Dinasti Umayyah merupakan bentuk baru pemerintahan dalam Islam yang menganut paham kerajaan (monarchi). Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan yang telah dicapainya adalah melebarkan sayap kekuasaan Islam ke berbagai wilayah, yakni meliputi benua Asia, Afrika, dan Eropa.
Mengenai kemajuannya, dapat terlihat dari obsesi para pemimpin Dinasti Umayyah dalam mewujudkan pegembangkan kesusastraan, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, memapankan perekonomian rakyat dan menertibkan sistem administrasi pemerintahan.
Disamping kemajuan yang telah dipersembahkan, maka dalam sisi lain Dinasti Umayyah memperlihatkan kekurangan, khusunya aspek moral sehingga menyebabkan kemerosotan, yang pada gilirannya bermuara pada kemunduran yang berujung pada kehancuran.
Memang sudah menjadi sunnatullah, bahwa roda kehidupan selalu berputar, suatu saat berada dipuncak kejayaan, namun saat yang lain seiring dengan perjalanan waktu, cepat atau lambat akan mengalami kemunduran dan bahkan tergiring kepada kehancuran, seperti yang dialami oleh Dinasti Bani Ummayah.
DAFTAR PUSTAKA
Bosworth, C.E. The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan, 1993.
al-Harwy, Abd. Al-Sami Salim. Lughah al-Idarah. t.tp.: al-Haiah al-Misrishriyah, 1986.
Hasan, Ibrahim Hasan. Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Human dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Ismail, M. Syhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. I; Bandung: Angkasa, 1988.
al-Maududi, Abu al-A’la. al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan, 1984.
Nasir, Syekh Mahmudun. Its Concepts dan History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul, Islam; Konsepsi dan Sejarahnya. Cet. IV; Bandung: Roskarya, 1994.
Saile, Abd. Kadir. Khawarij, Murj’ah, Jabariah dan Qadariyah, “Makalah SPPDI”. Makassar: PPS IAIN Alauddin, 2002.
Syalabi, Ahmad. Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh H. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latif dengan judul, Sejarah Kebudayaan Islam 2. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
al-Syaraf, Muhammad Jalal dan Ali Abdul Muthy. Al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam. Iskandariah: Dar al-Jama’ah al-Mishriyah, 1978.
[1]Yakni, khalifah Abu Bakar (11-13 H / 632-634 M) dan khalifah Umar bin Khattab (13-25 H / 634-644 M)
[2]Uraian lebih lanjut lihat Abd. Kadir Saile, Khawarij, Murj’ah, Jabariah dan Qadariyah, “Makalah SPPDI” (Makassar: PPS IAIN Alauddin, 2002), h. 3.
[3]C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti-Dinasti Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 24.
[4]Ibid., h.
[5]Abu al-A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1984), h. 202.
[6]Pernyataan Mu’awiyah di atas dikutip dari Ahmad Syalabi, Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh H. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latif dengan judul, Sejarah Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), h. 113.
[7]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 196.
[8]al-Walid bin Yazid adalah salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah.
[9]A. Hasjmi, loc. cit.
[10]Ibid., h. 180.
[11]Muhammad Jalal al-Syaraf dan Ali Abdul Muthy, Al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam (Iskandariah: Dar al-Jama’ah al-Mishriyah, 1978), h. 148.
[12]Abd. Al-Sami Salim al-Harwy, Lughah al-Idarah (t.tp.: al-Haiah al-Misrishriyah, 1986), h. 256.
[13]Uraian lebih lengkap lihat Syekh Mahmudun Nasir, Its Concepts dan History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul, Islam; Konsepsi dan Sejarahnya (Cet. IV; Bandung: Roskarya, 1994), h. 209.
[14]Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Human dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 75.
[15]Ibid., 80.
[16]Ibid., 83.
[17]Disadur dari Mahmudun Nasir, op. cit., h. 238-239.