Informasi
yang kita terima dari al-Qur’ân menyebutkan bahwa kondisi umum perempuan dalam
masyarakat Arab sampai pada masa al-Qur’ân diturunkan adalah kondisi yang kurang menguntungkan bahkan
sangat buruk. Perempuan bukan hanya dipandang
sebagai makhluk Tuhan yang rendah, melainkan juga dihargai sebagai barang, bisa diwarisi, dan diperlakukan sebagai
layaknya budak. (QS. Al-Nisa, 4:19). Mereka
juga dianggap tidak memiliki hak apa-apa atas kehidupannya sendiri dan dalam relasi-relasi sosial. Peran-peran mereka dibatasi
pada wilayah domestik dan dalam
kerangkamelayani kebutuhan seksual laki-laki. Beberapa ayat al-Qur’ân bahkan
menyebutkan adanya tradisi pembunuhan bayi-bayi
perempuan hidup-hidup. (QS. 16: 58-59, QS. 81:
8-9). Alasannya adalah karena kelahiran anak perempuan akan menambah beban ekonomi dan bisa mencoreng muka atau memalukan
keluarga. Keadaan ini biasanya berlaku pada
keluarga miskin dan marginal. Realitas posisi subordinat perempuan juga diinformasikan oleh ayat 34 surah al-Nisa.
Ayat ini menjelaskan bahwa kepemimpinan atau
kekuasaan domestik, apalagi publik, berada di tangan laki-laki. Al-Qur’ân menyatakan bahwa hal itu karena laki-laki
memiliki kelebihan setingkat lebih tinggi
dibanding perempuan dan karena fungsi ekonomi ada di tangan laki-laki. Yang menarik adalah bahwa teks tersebut tidak menjelaskan
secara eksplisit tentang kelebihan lakilaki
atas perempuan.
Wanita sebelum datangnya Alquran
yakni pada masa jahiliyah, mereka dipandang rendah, hina dan tidak mempunyai
nilai di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, ia tidak diberi hak, dan
penghormatan, ia hanya menjadi pelampiasan hawa nafsu belaka dari pihak
laki-laki.[1]
Umar bin Khattab menuturkan kejelekan sifat- sifat Arab jahiliyah, sebagai
berikut:
كـنـا فى الـجـاهـلـيــة لا نـعـتـد
بـالـنـســاء ولا نــدخـلـهـن
فى شـيئ من أمـورنـا بـل
كـنـا ونحن بـمـكـة
لا يـكـلـم أحـدنـا امـرأتـه
إذا كـانـت لـه حـاجـة
سـفـع بـرجـلـيـهـا ... فـقـضى
مـنـهـا حـاجـتـه.[2]
Karena pandangannya Arab jahiliyah begitu jelek, hina dan rendah
sehingga ia sangat membencinya dan tidak segan-segan mengubur hidup-hidup. Alquran
melukiskan perbuatan Arab jahiliyah itu dengan nada amat mencela:
- وإذا
بـشـر احـدهـم بـالأنـثى ظـل
وجـهـه مـسـودا وهو كـظـم، يـتـوارى من الـقـوم
مـاسـوء مـا بـشـر بــه ايـمـسـكـه
على هون ام يـدسـه فى الـتراب الاسـاء
مـا يـحـكـمـون.[3]
- وإذا
الـمـودودة سـئـلـت، بـإي ذنب
قـتـلـت.[4]
Demikianlah ungkapan Alquran tentang kekejian, kedahsyatan dan
kengerian kebiasaan mengubur hidup-hidup anak wanitanya. Kebiasaan ini
dilakukan karena:
1- خـشـيـة
الـوقـوع فى الـعـار، إذا
شـذت اخـلاقـهـا وارتـكـبـت
الـسـوء.
2- إذا وقـعـت
فى الـسبي واخـذهـا الـحـدوعـهـوة
فـاصـبـحـت فـريـبـسـة بـين
يـديـه.
3- خـسـيــة
الـفـقــر والامـلاق.[5]
Di zaman jahiliah, wanita bagaikan barang warisan bagi seorang
laki-laki pemiliknya. Ia dapat diwariskan begitu saja kepada saudara sang
pemilik yang meninggal dunia. Keluarga almarhum suami dari pihak ayah bisa saja
mengawinkan si wanita dengan salah seorang di antara mereka atau dengan siapa
saja yang mereka suka, mereka bisa juga mencegahnya kawin lagi, agar ia tidak
membawa pergi harta suaminya, dan dengan demikian harta warisan tetap menjadi
milik keluarga mereka. Dan anak yang menjadi pewaris rumah ayah adalah
anak-anaknya yang laki-laki. Sedangkan anak wanita tidak mendapat apa-apa,
kecuali bila ada belas kasihan saudara-saudaranya, ia dapat hidup di bawah
perlindungan mereka.[6]
Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita pada masa itu tidak mempunyai hak
sama sekali, wanita diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum laki-laki, mereka
dikuasai dan tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat.
Pada
masa jahiliyah di negara Arab terdapat bermacam- macam kultur perkawinan yang merusak
sendi-sendi moral yaitu:
1.
Poliandry; Seorang
wanita dipersembahkan kepada banyak laki-laki, baik secara resmi maupun dengan
cara lain, Anak yang dilahirkan diserahkan kepada salah satu mereka yang mau.
2.
Istibda; Seorang suami
mengizinkan isterinya digauli oleh laki-laki tertentu seperti para penguasa dan
pejabat tinggi yang pemberani dan terhormat, agar para isteri mendapat
keturunan seperti dia.
3.
Ittikhaf al-Akhdam wa al-Saffah; Sistem perkawinan tidak legal dengan wanita-wanita lain selain
isteri seperti mengambil wanita lacur secara terang-terangan (al-Saffah),
gundik-gundik atau pacar (al-Akhdam) sebagai teman berkencan dan
lain-lain.
4.
Mut’ah; Sistem
pernikahan mut’ah disebut pernikahan sementara, Syi'ah sekte Imamiyah
memperbolehkan hal yang sama bagi orang-orang Islam.
5.
Mubadalah; Dua orang
suami sepakat menukar masing-masing isteri untuk yang lain di antara keduanya.[7]
Dari sistem-sistem perkawinan di atas menunjukkan berlakunya budaya
pemilikan atau penguasaan wanita oleh pihak laki-laki, dia diberlakukan
sebagaimana hewan dan binatang serta barang.
Dan
apakah kelebihan yang diberikan Tuhan kepada laki-laki tersebut bersifat tetap,
tidak berubah-ubah atau sebaliknya. Para ahli tafsirlah yang kemudian
mengelaborasi lebih lanjut ayat ini dengan menyatakan bahwa kelebihan laki-laki
atas perempuan adalah karena kwalitas
intelektualnya yang lebih tinggi, di samping karena fungsi penanggungjawab nafkah. Akibat dari ketimpangan
relasi kuasa dalam dua hal ini; intelektual
dan ekonomi, kaum perempuan tidak memiliki hak untuk dilibatkan sebagai penentu dalam segala urusan penting baik dalam
ruang domestik maupun publik. Umar bin
Khattab, seorang tokoh terkemuka dan teman sebaya Nabi Muhammad Saw juga pernah memberikan kesaksian atas kondisi umum kaum
perempuan Arab pra Islam tersebut. Ia
mengatakan: “Kami bangsa Arab sebelum Islam, tidak menganggap apa-apa terhadap perempuan. Tetapi begitu nama mereka
disebut-sebut Tuhan (dalam al-Qur’ân), kami
baru mengetahui bahwa ternyata mereka mempunyai hak-hak atas kami... (bersambung)
[1]Lihat, Muhammad
Ali Qutub, Fa«lu Tarbiyat Al-Banati Fi Al-Islam, (Qairo: Maktabah
Al-Qur’an, t.th.), h. 21.
[3]Surah Al-Nahl
ayat 58-59.
[4]Surah Al-Takwir
ayat 8-9.
[5]Lihat, Muhammad
Ali Qutub, Op. cit., h. 23.
[6]Lihat, Al-Tahir
Al-Hadad, Imratuna fi Al-Syafiati wa Al-Mujtama’, (Cet. II; t.t.: Al-D±r
Al-Tunisiah l³ Al-Nasyan, 1972), h. 30.
[7]Lihat, Muhammad
Rasyid Ridha, Huquq Al-Mar’at Al-Muslimat, (Qairo: Ma¯ba’ah Al-Manar,
1931), h. 19.