Kemunduran
umat Islam Indonesia yang kita lihat dan alami saat ini tidak lain dan tidak
bukan disebabkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam yang kurang
memerhatikan metode pendidikan dan seni dakwah serta tidak menggunakan senjata
berupa sumber daya manusia dan dakwah sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain,
umat membutuhkan keteladanan dan ulama serta pemimpin bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul Anregurutta Ambo Dalle: Mahaguru dari Bumi Bugis,
HM Nasruddin Anshoriy Ch mengungkapkan, sangat sedikit para pemimpin dan tokoh
Islam saat ini yang mampu melakukan kerja keras di bidang pendidikan,
menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahim, serta
berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan
benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok mahaguru dari
bumi Bugis bernama Abdurrahman Ambo Dalle.
Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih
sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan dan murid-muridnya.
Penikmat novel trilogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tentu masih
ingat dengan apa yang dilakukan Lintang, seorang anak nelayan yang harus
mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer agar bisa menuntut ilmu di SMP
Muhammadiyah, Belitong.
Seperti itulah yang dilakukan Ambo Dalle. Ulama asal Sulawesi Selatan ini
mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui
umatnya untuk berdakwah. Ambo Dalle menunjukkan keteladanan seorang pemimpin
dalam mengayomi dan melayani umat. Masihkah ada pemimpin dan ulama seperti Ambo
Dalle saat ini?
Anregurutta (guru--Red) Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga
bangsawan, sekitar tahun 1900, di sebuah desa bernama Ujung yang berada di
Kecamatan Tanasitolo, sekitar tujuh kilometer sebelah utara Sengkang yang
merupakan ibu kota Kabupaten Wajo. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan
ibunya bernama Puang Candara Dewi.
Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki
banyak rezeki. Orang tuanya mengharapkan dirinya agar kelak hidup dengan
limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abdurrahman diberikan oleh seorang
ulama setempat bernama KH Muhammad Ishak pada saat berusia 7 tahun dan sudah
dapat menghafal Alquran.
Menuntut ilmu
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan
(sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan
menyimak pembicaraan guru. Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh
dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih
fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco,
seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.
Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran,
seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia
juga mengikuti Sekolah Rakyat (Volk School) pada pagi hari serta kursus
bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam
harinya.
Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan
modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar.
Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi
baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI). Pada saat
itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan
benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan
kebangsaan di seluruh Tanah Air.
Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial
yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi. Makassar, yang saat
itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur,
ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat
barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa,
hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.
Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun
wawasan. Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa,
khususnya di daerahnya sendiri. Selain kegiatan rohani dengan pendalaman
spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak
diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga. Olahraga yang paling
digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola
yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar,
rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai 'Si Rusa.'
Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama. Ia
pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti
H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka
pengajian di kampung halaman mereka.
Merintis madrasah
Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As'ad, suatu ketika menguji
secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle
dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi
asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia
pendidikan.
Berkat kerja sama antara Gurutta H As'ad dan Ambo Dalle, pengajian itu
bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu,
Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan
langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As'ad. Dalam kunjungannya, Raja
Wajo ini meminta agar Gurutta H As'ad membuka sebuah madrasah yang seluruh
biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama
kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.
Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah
(setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga
pendidikan itu diberi nama Al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah
(disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan
persetujuan Gurutta H As'ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu
singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern
(sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di
Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia
mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI
Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan
keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).
Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As'ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi
Madrasah As'adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas
jasa-jasa Gurutta H As'ad.
Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso,
pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat
pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk
membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang
MAI Mangkoso di berbagai daerah.
Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku
imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah
ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan
pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.
Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun
mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas
dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela
masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar.
Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan
mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua
anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.
Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang
masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah
milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut
luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber ed:sya
Membangun Benteng Tauhid
Setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, Anregurutta Abdurrahman Ambo
Dalle dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut
dan mempertahankan kemerdekaan. Gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok
Tanah Air.
Melihat kondisi ini, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan
yang nyaris terbengkalai. Ia sadar, selain bertempur melawan penjajah dengan
senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah
salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dalam kolonialisme selama
berabad-abad.
Namun, usaha yang dirintis Ambo Dalle ini sempat mengalami kendala ketika
terjadi Peristiwa Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara
sekutu (NICA) di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan
pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang dituduh sebagai ekstremis.
Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri,
yang ditugaskan oleh Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai
daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Namun, situasi itu tidak
menyurutkan semangat beliau untuk mengembangkan MAI.
Bahkan, dalam situasi seperti itu, bersama beberapa ulama alumni MAI Sengkang,
ia mengadakan pertemuan alim ulama se-Sulawesi Selatan di Watang Soppeng pada
16 Rabiul Awal 1366 H/7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati pembentukan
organisasi yang diberi nama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang bergerak dalam
bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Ambo Dalle kemudian
ditunjuk sebagai ketua dan Anregurutta HM Abduh Pabbajah sebagai sekretaris
organisasi.
Meski disibukkan memimpin organisasi dan madrasah, Ambo Dalle tidak melalaikan
kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH Fakih Usman dari
Departemen Agama (Depag) Pusat dipercayakan oleh Pemerintah RI untuk membenahi
dan merealisasi pembentukan Departemen Agama wilayah Sulawesi. Tugas itu dapat
dilaksanakannya dengan baik. Kepala Depag yang pertama diangkat adalah KH
Syukri Gazali, sedangkan Ambo Dalle diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama
Kabupaten Pare Pare pada 1954.
Menurut Prof KH Ali Yafie, salah seorang santri Ambo Dalle, apa yang telah
dilakukan oleh gurunya itu selama berpuluh-puluh tahun di bumi Bugis pada
khususnya dan bumi Sulawesi pada umumnya adalah sebuah gerakan pembaruan
membangun benteng tauhid. Dengan kata lain, yang dikembangkan Ambo Dalle
melalui program dakwah, pendidikan, sosial, dan kebudayaan tersebut sesungguhnya
bagian dari jihad, ijtihad, dan mujahadah untuk membangun 'budaya tauhid'.
Keteguhan sikap Ambo Dalle tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang
ia lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI,
Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Pare Pare tak bergeming dan tetap
kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu, dia berpesan kepada
santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan
terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.
Kitab karyanya
Sebagai seorang ulama, Ambo Dalle banyak mengupas berbagai persoalan yang
menyangkut hampir semua cabang ilmu agama dalam karya-karya tulisnya. Di
antaranya adalah tasawuf, akidah, syariah, akhlak, balaghah, dan mantik.
Semua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku.
Salah satu karyanya yang dikenal luas adalah kitab Al-Qaulu as-Shadiq fi
Ma'rifati al-Khalaqi yang memaparkan perkataan yang benar dalam mengenali
Allah SWT dan tata cara pengabdian terhadap-Nya. Menurutnya, manusia hanya
dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat
tentang dirinya.
Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekal akal logika, tapi juga dengan
melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat kepada
Allah. Meskipun, harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan
alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT. Dalam berzikir, harus dilakukan sesuai
dengan dalil-dalil naqli (Alquran dan hadis). Yakni, dilakukan dengan
hati, istikamah, dan tidak boleh goyah.
Pendirian dan sikap akidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil
Aqail Islamiyah yang terdiri atas tiga jilid. Keteguhan pendiriannya
tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya tergambar dalam kitabnya Maziyyah
Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah.
Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushul-nya tertulis dalam kitab Tanwiru
at-Thalib, Tanwiru at-Thullab, dan Irsyadu at-Thullab. Ilmu balaghah
(sastra dan paramasastra) dibahas dalam karyanya yang berjudul Ahsanu
al-Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya'i, yang menerangkan kosakata dan cara
penyusunan kalimat bahasa Arab. Kitab Sullamu al-Lughah menerangkan
kosakata, percakapan, dan bacaan.
Beliau juga mengarang pedoman berdiskusi dalam bahasa Arab, yakni kitab Miftahu
al-Muzakarah dan tentang ilmu mantik (logika) dalam kitab Miftahu
al-Fuhum fi al-Mi'yarif Ulum.
Sumber: www. Republika.co.id
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya