Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Rabu, 24 Desember 2014

ISLAM DAN POLITIK DI MALAYSIA: Sejarah Sosial dan Pertumbuhan Institusi Islam Malaysia



 Oleh: Sulaiman Ibrahim

Wacana kontemporer mengenai peran politik Islam dan aplikasinya sangat dipengaruhi oleh Barat, yang secara umum berupa reaksi positif dan negatif terhadap cara hidup. Saat ini umat Islam dihadapkan pada keunggulan teknologi, militer, ekonomi dan penaruh kebudayaan Barat yang deras, sehingga membuat umat Islam merasa dipaksa untuk memfokuskan diri pada tantangan modernitas dalam berbagai dimensinya. Sebagai akibatnya, kebutuhan untuk menilik dan mendifinisi ulang posisi Islam telah menjadi sesuatu yang mendesak. Dan perbincangan berkaitaan dengan masalah itu telah menimbulkan dua arus utama pemikiran politik di antara para ulama ahli fiqih dari kalangan intelektual.[1]
Tantangan terbesar yang dihadapi banyak masyarakat muslim dewasa ini adalah tantangan perubahan. Bagaimana seseorang mendamaikan ajaran-ajaran keyakinannya dengan modernitas, pluralitas, perubahan zaman dan lingkungan.
Seringkali Islam dianggap sebagai cara hidup dan sumber jalan keluar dari segala penyakit dan ketidakadilan yang menimpa masyarakat. Tampaknya, orang-orang yang berpaling kembali kepada Islam itu tidak becus mengatasi tantangan besar yang dimunculkan dan tidak berdaya untuk membuktikan bahwa mereka mampu berkuasa dan membawa perubahan, menurut jalan Islam.[2]
Agenda Islam di banyak negara muslim juga dinominasi oleh wacana kelompok-kelompok Islam yang menuntut pendirian negara Islam dan penerapan syari’ah. Dalam pandangan dunia kelompok ini terdapat sedikit ruang bagi pendapat-pendapat yang berbeda, bahkan ruang itu juga begitu sempit untuk menampung kelompok-kelompok Islam progresif yang ingin melakukan perubahan dari dalam tubuh agama itu sendiri.[3]
            Pencarian konsep tentang negara  oleh para ulama politik mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan  idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan, ”bagaimana bentuk negara dalam Islam”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa  Islam memiliki  Konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (menekankan aspek praksis dan substansial), yakni mencoba menjawab “Bagaimana Isi Negara Menurut Islam”. Pendekatan ini didasarkan  pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu  tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsif-prinsif dasar berupa etika dan moral. Bentuk negara yang  ada pada suatu masyarakat Muslim dapat diterima  sejauh tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar tadi.
            Kendati kedua maksud tersebut berbeda dalam pendekatan, namun keduanya mempunyai  tujuan yang sama, yakni menemukan  rekonsiliasi  antara idealitas agama dan realitas politik. Realitas antara cita-cita agama dan realitas politik menjadi tugas utama  pemikiran politik Islam. Hal ini merupakan tuntutan, karena hubungan antara agama dan politik pada giliran berikutnya  antara agama dan negara dalam kenyataan sejarah sering menampilkan fenomena kesenjangan dan pertentangan. Fenomena ini bersumber pada dua sebab yaitu (a). Adanya perbedaan konseptual antara “ agama” dan “Politik” yang menimbulkan kesukaran pemanduan dalam praktek; (b). Adanya penyimpangan praktek politik dari etika dan moralitas agama. Solusi yang ditawarkan para ulama politik, baik pada masa klasik maupun masa modern terhadap kesenjangan hubungan agama dan negara tersebut sangat beragam, sejalan dengan keragaman setting sosio-kultural dan politik yang mereka hadapi. Karenanya, konsepsi pemikir Islam tentang negara tidak luput dari dimensi kultural dan dimensi politik.
Malaka/Malaysia adalah salah satu wilayah negara yang memegang peranan strategis dalam pengembangan Islam di Asia Tenggara. Munculnya Islam di Malaysia berkat atas jasa para pedagang yang mempunyai semangat yang tinggi dalam menyiarkan Islam dari negeri Arab melalui Malaka.[4]
Secara historis, Islam telah menjadi bagian dari negara-negara (pality) tradisional Melayu. Sejak zaman kesultanan Malaka peran Islam sejak itu sudah menjadi hal yang tidak bisa diganggu gugat, secara politik peran Islam bahkan lebih penting lagi Islam telah menjadi faktor penyatu bagi orang-orang Melayu. Evolusi politik negara-negara Melayu tradisional tergantung pada Islam sebagai wahana penting bagi perubahan sosial dan stabilitas.[5] Hanya sedikit negeri Muslim di dunia telah melangkah begitu jauh seperti Malaysia dalam upayanya memanfaatkan kekuasaan negara untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan Hadis dalam kehidupan kaum muslim.
Malaysia menyuguhkan suau pengalaman islami yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat multi etnik dan multi agama tempat bangsa Melayu merupakan 45 persen dari seluruh penduduknya, namun mempeunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan, dan yang terbesar adalah etnik Cina (35 persen) dan India (10 persen). Islam dan identitas Nasional serta politik Melayu telah lama  saling berlindan, seperti tercermin dalam keyakinan umum bahwa orang Melayu mestilah beragama Islam.[6]
Suatu ciri khas dalam perkembangan politik Malaysia adalah peran Islam dalam politik Melayu. Malaysia merupakan federasi negara-negara bagian, sebuah pemerintahan yang secara resmi bersifat pluralistis dengan Islam sebagai agama yang resmi, dan Islam serta kaum muslim menikmati kedudukan istimewa. Meskipun partisipasi partai-partai Islam dalam pemilihan umum dan kiprah mereka sebagai oposisi yang sah merupakan fenomena yang relatif baru dikebanyakan di negeri Muslim. Selama bertahun-tahun partai-partai politik itu telah bersaing dengan partai pemerintah UMNO, juga bersaing satu sama lain dalam proses politik. Kebalikan dengan beberapa sistem poltik di Timur Tengah yang tidak mengizinkan partai-partai politik Islam dan beberapa gerakan Islam kemudian melakukan perlawanan dengan tindak kekerasan. Dalam sistem Malaysia terdapat sebuah partai  penguasa yang dominan yang mengakui keberadaan dan partisipasi politik dan kelompok-kelompok Islam yang berperan sebagai pihak oposisi nonkekerasan. Pengakuan dan integrasi kelompok-kelompok kebangkitan Islam dalam proses demokrasi yang tengah berkembang ini terlihat tidak hanya melalui kemampuan mereka untuk beroperasi di dalam sistem, tetapi juga lewat manuver seorang aktivis Islam yang kharismatik, yaitu Anwar Ibrahim, dari posisinya sebagai pihak oposisi hingga menjadi pihak pemerintah pada tahun 1980-an, dan bahkan pada tahun 1994 dia telah menjadi menteri keuangan dan deputi perdana menteri.[7]
Pertumbuhan dan perkembangan Islam ditunjang dengan munculnya berbagai institusi sosial Islam yang berperan aktif dalam menyebarluaskan kesadaran beragama di Malaysia.[8] UMNO (United Malays Nasional Organization) sekalipun partai ini berbasis nasional namun perhatiannya terhadap Islam sangat besar, apalagi partai yang berbasiskan Islam seperti PAS (Partai Islam Se-Malaysia), ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), PKPIM (Perhimpunan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia) dan berbagai organisasi Islam yang muncul pada tahun 1980-an, misalnya berbagai Perguruan Tinggi di Malaysia yang sangat konsisten dalam ajaran Islam yang berpengaruh besar di kalangan generasi muda sebagai pertanda kebangkitan Islam di Malaysia, yang dapat memberikan pengaruh terhadap pranata-pranata sosial dalam masyarakat.


[1] Ahmed Vaezi, Agama Politik; Nalar politik Islam, terj dari Syi’ah Political Thought oleh Ali Syahab, (Jakarta: Citra 2006), h. 1. Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai Paradigma Hubungan dan negara, Makna Politik Islam adalah sebagai berikut: Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.dengan demikian maka dapat kita katakan bahwa makna Politik Islam ialah aktivitas Politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.  Lihat Salim Ali al-Bahnasawi,  Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1999),  Cet. I. h. 32

[2]Ulil Abshar Abdallah (ed.) Islam dan Barat, Demokrasi dalam Masyarakat Islam, dalam Zainah Anwar “Berebut Paling Saleh; Islam dan Politik di Malaysia”, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002), h. 80
[3]Hal ini dilakukan setelah melalui penafsiran kembali dan progresif terhadap al-Qur’an, penilaian kembali teks-teks eksigesis dan hukum dari para sarjana muslim klasik, dan pemikiran ulang tentang bagaimana prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan kebijaksanaan dalam Islam dapat diperapkan dalam masyarakat kontemporer. Lihat Ulil Abshar Abdallah (ed.) Islam dan Barat, Demokrasi dalam Masyarakat Islam, h. 80
[4]Marshall GS. Hodson, The Venturl of Islam, (Chicagho: University of Chicago Press, 1997), vol II, h. 548.
[5]Omar Faroek, “Pemikiran Sosial dan Kebangkitan Islam di Malaysia” dalam Syaiful Manani Islam di Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1993), h. 281-282. Kalau kita surut memperhatikan sumbangan-sumbangan dan artikukasi para penulis Islam pada teori Islam, kebanyakan karya kontemporer  yang ditulis oleh para teoritisi muslim berbentuk “Doktrin Politik  bukannya teori politik atau falsafah politik, sehingga ada kesenjangan kelompok-kelompok Islam yang berkembang  saat ini ingin mengarahkan wacana pemahaman ke-Islamannya  kepada pendekatan  doktrin politik Islam  dengan implikasi realitas adalah lahirnya Islam radikal terus menerus dalam  fragmentasi politk aktual/Islam radikal. Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori  Politik Islam State diterjemahkan dari, State Politic, and Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 15


[6] John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Problem dan Prospek, diterjemahkan dari Islam and Democracy oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), cet I, h. 165
[7]John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Problem dan Prospek, h. 166
[8] Selanjutnya lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 274-278
 




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 23 Desember 2014

KAJIAN HADIS DI INDONESIA



Oleh:  SULAIMAN IBRAHIM
 
 
I. Pendahuluan

Di samping Al-Qur’an, hadis juga merupakan sumber hukum Islam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an.[1] Kedudukan hadis sebagai sebagai salah satu sumber hukum Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam.
Amat banyak kasus-kasus hukum yang bersumber dari hadis, karena sebagaimana dipahami bahwa salah satu fungsi hadis adalah penjelas (bayān) atas Al-Qur’an, maka tentu saja untuk kasus-kasus tertentu yang penjelasan tentangnya dalam Al-Qur’an bersifat global, dapat ditemukan rinciannya dalam hadis. Hal ini tidak dapat dipungkiri, misalnya Al-Qur’an menjelaskan shalat, puasa, dan zakat, maka untuk mengetahui cara shalat dan dimensi hukumnya, juga puasa dan zakat semuanya dapat diketahui melalui hadis. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat strategis dalam menjelaskan kandungan Al-Qur’an.
Secara tegas dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi saw (yang identik dengan hadisnya) diberi kewenangan dalam menjabarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Dimaklumi bahwa Nabi saw sebagai pemimpin masyarakat muslim, atau lebih tegas bahwa Nabi saw sebagai kepala pemerintahan, berkewajiban menerapkan hukum-hukum Tuhan, tidak hanya dalam lingkungan masyarakat muslim tetapi juga dalam masyarakat non muslim yang berada dalam lingkungan kekuasaannya.
Lebih lanjut menurut Yusuf al-Qardhawi minimal tiga fungsi hadis terhadap Al-Qur’an dalam masalah hukum yakni; (1) memperkuat hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik yang global maupun yang detail; (2) menjelaskan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, yakni men-qayyid-kan yang mutlaq, men-tafshil-kan yang mujmal, dan men-takhsis-kan yang ‘am; (3) menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an. Untuk fungsi yang terakhir ini, ulama berbeda pendapat.[2]
Berdasar pada uraian-uraian di atas, maka dipahami bahwa Al-Qur’an dan hadis adalah sumber hukum yang integral, tidak mungkin seorang muslim memahami hukum atau ajaran Islam hanya merujuk kepada Al-Qur’an semata tanpa melirik hadis.

A. Metode Kajian Hadis di Indonesia

II. Pembahasan

            Dalam beberapa literatur hadis yang berbahasa Indonesia, metode kajian hadis yang dilakukan oleh Kiai, Ulama, Cendekiawan maupun dunia Akademisi tidak ada perbedaan yang dilakukan oleh ulama-ulama yang ada di Timur Tengah saat ini. Walaupun ada, itupun hanya karena faktor keterbatasan bahasa dan literatur yang dimiliki. Karena ulama yang ada di Indonesia, sebagian besar pendidikannya juga berasal dari Timur Tengah, seperti Mesir, Yordan, Sudan, Syiria dan Arab Saudi. Memang diakui, walaupun mayoritas masyarakatnya beragama Islam, Indonesia tidak bisa dijadikan tolok ukur sebagai pusat ilmu atau kajian agama, apalagi ilmu mengenai al-Qur’an dan hadis. Sebagian besar kitab-kitab hadis yang ada di Indonesia hanya sebatas buku dakwah atau salinan hadis-hadis tertentu dan untuk masalah tertentu. Hal ini dimungkinkan, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.

1. Hadis-hadis Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin, keutamaan Bulan   Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

Buku ini ditulis oleh al-Ustadz Ahmad Lutfi Fathullah, yang merupakan suntingan dari disertasi Doktor beliau di Universitas Kebangsan Malaysia (UKM). Secara keseluruhan, buku ini menfokuskan pada studi sanad hadis dan mentakhrijnya serta menghukum status hadis-hadis tersebut sesuai dengan metode ahli hadis, seperti: bersambungnya sanad, parawinya adil, dhabit, tidak Syudzudz, dan tidak illat. Dalam buku tersebut sebagian besar hadis dihukumi dengan maudhu’ (palsu).
Memang beliau diakui keseriusan dan ketelitiannya dalam menulis disertasi tersebut. Tetapi menurut penulis, tidak disentuhnya matan hadis dalam kajian kitab Durratun Nashihin menyebabkan kurang komplitnya pembahasan hadis-hadis tersebut. Karena ada juga hadis yang dihukumi shahih tapi tidak adanya penjelasan menyebabkan kesimpangsiuran dalam memahami hadis tersebut. Dan ini menurut orang “awam” menjadi kelemahan suatu hadis bila hanya didekati dengan kritik sanad, Seperti dalam hadis:  لا فرع  ولاعتيرة    hadis ini dihukumi dengan hadis Shahih karena diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,[3] tetapi tidak adanya penjelasan matan hadis sehingga kurang menyentuh dalam pemahaman pada masyarakat awam.

2. Studi Kritis Hadis Nabi Saw, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Buku di atas ditulis oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali yang diterjemahkan dari kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits. Berbeda dengan pembahasan sebelumnya, kitab ini justru memfokuskan pada matan hadis, sehingga terkesan ada penyampingan terhadap sanad. Muhammad al-Ghazali dalam buku tersebut banyak mengkritik hadis-hadis yang dianggap shahih tapi bertentangan dengan realitas maka dia anggap hadis tersebut “tidak” relevan. Dan Muhammad al-Ghazali menyatakan dengan tegas bahwa hadis kalau bertentangan dengan al-Qur’an harus ditolak,[4] sebagaimana Aisyah R.a. menolak hadis yang disampaikan oleh Abu Huraerah bahwa Nabi bersabda “Sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan keluarganya”. Dan masih banyak contoh lain yang bisa dibaca dalam kitab tersebut.

3. Koleksi hadits-hadits Hukum karya Tengku Hasbi Asshidiqiy
Buku ini berisi tentang kajian hukum Islam yang diperkuat oleh hadis-hadis Nabi. Satu tema biasanya berisi dari empat sampai lima masalah dan terdiri dari 16-100 hadis Nabi. Hasbi mengawali tulisannya dengan menyebutkan judul atau tema tertentu, kemudian mengutip suatu hadis dengan memberikan nomor urut hadis dalam buku tersebut sebelum kutipan hadis itu sendiri. Dalam mengutip hadis, Hasbi tidak menyertakan sanad secara lengkap. Dia hanya menyebutkan sumber primer hadis itu, seperti Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Anas, Tsauban dan sebagainya. Setelah mengutip beberapa hadis, barulah Hasbi menjelaskan maksud dan pengertian hadis secara singkat disusul kutipannya terhadap pendapat para ulama tentang syarah hadis tersebut, seperti Ibnu Bathal, al-Thabrani, al-Nawawi dan lain-lain. Karena Hasbi mengoreksi hadis-hadis hukum, dia juga mengutip pendapat-pendapat para Imam Mazhab agar para pembaca dapat membandingkan berbagai pendapat dan menjadi pegangan yang benar bagi mereka. Selain itu Hasbi juga menilai atau mentahkik mana pendapat-pendapat tersebut yang dianggap kuat dan layak untuk diikuti.
Jumlah bilangan hadis dalam buku Hasbi ini cukup banyak. Di dalamnya terdapat juga hadis-hadis lemah. Sayang sekali, Hasbi tidak menganalisis kedudukan hadis tersebut. Walau begitu, Hasbi berusaha mengutip hadis-hadis tersebut pada kitab-kitab hadis yang mu’tabar dan terkenal, seperti mengutip dalam kitab Muntaqa al-Ahbar karya Imam Majduddin al-Harrani, Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar al-Asqalani dan Muharrar karya Ibn Qudamah al-Maqdisi.

4.  Himpunan Hadits-hadits Lemah dan Palsu Karya A. Yazid dan Qasim Koho
sebagaimana yang dikemukakan penulis sendiri, ini ini merupakan hasil kutipan dari beberapa kitab hadis, diantaranya: al-Maudhu’at karya al-Jauzi, al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’at karya Nashiruddin al-Albaniy, Maqashid al-Hasanah karya al-Sakhawiy, Mushthalah al-Hadits karya Abdul Qadir Hasan dan Mizan al-I’tidal karya al-Dzahabi.
            Dalam pendahuluan penyusun mencoba menjelaskan beberapa hal, diantaranya: sebab-sebab perbedaan dalam penilaian suatu hadis, yang di mana dalam suatu kitab tergolong maudhu’, tetapi dalam kitab lain tergolong tidak. Diterangkan juga mengenai sebab-sebab timbulnya hadis maudhu’, hukum periwayatannya dan istilah-istilah yang sering dipakai para ulama pada hadis palsu.
Penulis juga memberikan nomor urut pada hadis yang dikutipnya dari angka satu dan seterusnya, yang dimulai dari hadis-hadis yang banyak bersinggungan dengan masyarakat secara luas, seperti dari bab wudhu’ sampai hadis-hadis tentang kepolisian. Sistematika yang digunakan adalah pengutipan satu atau beberapa hadis dalam satu tema, lalu memberikan hukum hadis tersebut seperti ungkapan: palsu, la ashla lahu, syadz atau dha’if jiddan, kemudian penyusun memberikan komentar dan penjelasan singkat terhadap hadis-hadis tersebut.
Walupun hanya berupa kutipan dari beberapa kitab hadis palsu, tetapi buku ini setidaknya telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu hadis di Indonesia.

5. 55 Washiyat Rasulullah yang disusun oleh M.   Shaleh Ujaj dkk.
            Buku ini berisikan kutipan-kutipan dari kitab al-Targhib wa al-Tarhib karya al-Mundziri, Riyadh al-Shalihin karya al-Nawawi dan kitab al-Taj al-Jamil li al-Ushul. Diakui oleh penyusun sendiri, bahwa washiyat itu pada dasarnya ditujukan kepada para shahabat Nabi, tetapi hal ini secara umum mencakup segenap umat Islam. Hadis-hadis dalam kitab ini sesuai dengan judulnya berjumlah 55 hadis yang berisikan antara lain bentuk keikhlasan dalam pengabdian diri kepada Allah, penjelasan tentang tahlil, bersedekah, bertasbih, akhlak dan sebagainya. Satu tema yang dikemukakan berisi satu sampai tiga buah hadis yang dikutip dalam berbagai riwayat, seperti Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan lainnya. Penyusunannyapun hanya menambahkan penjelasannya secara singkat.


[1]Lihat misalnya QS. al-Hasyr (59): 7; QS. Ali Imrān (3):32; QS. al-Nisa (4): 80
[2]Yusuf al-Qadhawi, al-Sunnat; Mashdaran lil Ma’rifat wa al-Hadrahah diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dengan judul As-Sunnah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban; Diskursus Kontekstualisasi dan Aktualisasi Sunnah Nabi dalam Iptek dan Peradaban (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 6
[3]Lihat, Ahmad Lutfi Fathullah, Hadits-hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin, Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2004), h. 41
[4]Lihat Muhammad al-Ghazali,  Studi Kritis Hadis Nabi Saw, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998) cet. VI, h. 29-32
 




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 20 November 2014

Wanita dalam Konteks Sosial; Pra dan Pasca Turunnya Alquran

Informasi yang kita terima dari al-Qur’ân menyebutkan bahwa kondisi umum perempuan dalam masyarakat Arab sampai pada masa al-Qur’ân diturunkan adalah kondisi yang kurang menguntungkan bahkan sangat buruk. Perempuan bukan hanya dipandang sebagai makhluk Tuhan yang rendah, melainkan juga dihargai sebagai barang, bisa diwarisi, dan diperlakukan sebagai layaknya budak. (QS. Al-Nisa, 4:19). Mereka juga dianggap tidak memiliki hak apa-apa atas kehidupannya sendiri dan dalam relasi-relasi sosial. Peran-peran mereka dibatasi pada wilayah domestik dan dalam kerangkamelayani kebutuhan seksual laki-laki. Beberapa ayat al-Qur’ân bahkan menyebutkan adanya tradisi pembunuhan bayi-bayi perempuan hidup-hidup. (QS. 16: 58-59, QS. 81: 8-9). Alasannya adalah karena kelahiran anak perempuan akan menambah beban ekonomi dan bisa mencoreng muka atau memalukan keluarga. Keadaan ini biasanya berlaku pada keluarga miskin dan marginal. Realitas posisi subordinat perempuan juga diinformasikan oleh ayat 34 surah al-Nisa. Ayat ini menjelaskan bahwa kepemimpinan atau kekuasaan domestik, apalagi publik, berada di tangan laki-laki. Al-Qur’ân menyatakan bahwa hal itu karena laki-laki memiliki kelebihan setingkat lebih tinggi dibanding perempuan dan karena fungsi ekonomi ada di tangan laki-laki. Yang menarik adalah bahwa teks tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit tentang kelebihan lakilaki atas perempuan.
Wanita sebelum datangnya Alquran yakni pada masa jahiliyah, mereka dipandang rendah, hina dan tidak mempunyai nilai di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, ia tidak diberi hak, dan penghormatan, ia hanya menjadi pelampiasan hawa nafsu belaka dari pihak laki-laki.[1] Umar bin Khattab menuturkan kejelekan sifat- sifat Arab jahiliyah, sebagai berikut:
كـنـا  فى  الـجـاهـلـيــة  لا نـعـتـد  بـالـنـســاء  ولا  نــدخـلـهـن  فى شـيئ  من أمـورنـا بـل كـنـا  ونحن  بـمـكـة  لا يـكـلـم  أحـدنـا  امـرأتـه  إذا  كـانـت لـه  حـاجـة  سـفـع  بـرجـلـيـهـا ... فـقـضى مـنـهـا  حـاجـتـه.[2]
Karena pandangannya Arab jahiliyah begitu jelek, hina dan rendah sehingga ia sangat membencinya dan tidak segan-segan mengubur hidup-hidup. Alquran melukiskan perbuatan Arab jahiliyah itu dengan nada amat mencela:
-   وإذا  بـشـر احـدهـم  بـالأنـثى  ظـل  وجـهـه  مـسـودا  وهو كـظـم، يـتـوارى  من الـقـوم  مـاسـوء  مـا بـشـر بــه  ايـمـسـكـه  على هون ام يـدسـه  فى الـتراب  الاسـاء  مـا يـحـكـمـون.[3]
-   وإذا  الـمـودودة  سـئـلـت، بـإي  ذنب  قـتـلـت.[4]
Demikianlah ungkapan Alquran tentang kekejian, kedahsyatan dan kengerian kebiasaan mengubur hidup-hidup anak wanitanya. Kebiasaan ini dilakukan karena:
1-   خـشـيـة  الـوقـوع  فى الـعـار، إذا شـذت  اخـلاقـهـا  وارتـكـبـت  الـسـوء.
2-   إذا وقـعـت  فى الـسبي  واخـذهـا  الـحـدوعـهـوة  فـاصـبـحـت  فـريـبـسـة بـين يـديـه.
3-   خـسـيــة  الـفـقــر والامـلاق.[5]
Di zaman jahiliah, wanita bagaikan barang warisan bagi seorang laki-laki pemiliknya. Ia dapat diwariskan begitu saja kepada saudara sang pemilik yang meninggal dunia. Keluarga almarhum suami dari pihak ayah bisa saja mengawinkan si wanita dengan salah seorang di antara mereka atau dengan siapa saja yang mereka suka, mereka bisa juga mencegahnya kawin lagi, agar ia tidak membawa pergi harta suaminya, dan dengan demikian harta warisan tetap menjadi milik keluarga mereka. Dan anak yang menjadi pewaris rumah ayah adalah anak-anaknya yang laki-laki. Sedangkan anak wanita tidak mendapat apa-apa, kecuali bila ada belas kasihan saudara-saudaranya, ia dapat hidup di bawah perlindungan mereka.[6] Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita pada masa itu tidak mempunyai hak sama sekali, wanita diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum laki-laki, mereka dikuasai dan tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat.
Pada masa jahiliyah di negara Arab terdapat bermacam-   macam kultur perkawinan yang merusak sendi-sendi moral yaitu:
1.     Poliandry; Seorang wanita dipersembahkan kepada banyak laki-laki, baik secara resmi maupun dengan cara lain, Anak yang dilahirkan diserahkan kepada salah satu mereka yang mau.
2.     Istibda; Seorang suami mengizinkan isterinya digauli oleh laki-laki tertentu seperti para penguasa dan pejabat tinggi yang pemberani dan terhormat, agar para isteri mendapat keturunan seperti dia.
3.     Ittikhaf al-Akhdam wa al-Saffah; Sistem perkawinan tidak legal dengan wanita-wanita lain selain isteri seperti mengambil wanita lacur secara terang-terangan (al-Saffah), gundik-gundik atau pacar (al-Akhdam) sebagai teman berkencan dan lain-lain.
4.     Mut’ah; Sistem pernikahan mut’ah disebut pernikahan sementara, Syi'ah sekte Imamiyah memperbolehkan hal yang sama bagi orang-orang Islam.
5.     Mubadalah; Dua orang suami sepakat menukar masing-masing isteri untuk yang lain di antara keduanya.[7]
Dari sistem-sistem perkawinan di atas menunjukkan berlakunya budaya pemilikan atau penguasaan wanita oleh pihak laki-laki, dia diberlakukan sebagaimana hewan dan binatang serta barang.
Dan apakah kelebihan yang diberikan Tuhan kepada laki-laki tersebut bersifat tetap, tidak berubah-ubah atau sebaliknya. Para ahli tafsirlah yang kemudian mengelaborasi lebih lanjut ayat ini dengan menyatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena kwalitas intelektualnya yang lebih tinggi, di samping karena fungsi penanggungjawab nafkah. Akibat dari ketimpangan relasi kuasa dalam dua hal ini; intelektual dan ekonomi, kaum perempuan tidak memiliki hak untuk dilibatkan sebagai penentu dalam segala urusan penting baik dalam ruang domestik maupun publik. Umar bin Khattab, seorang tokoh terkemuka dan teman sebaya Nabi Muhammad Saw juga pernah memberikan kesaksian atas kondisi umum kaum perempuan Arab pra Islam tersebut. Ia mengatakan: “Kami bangsa Arab sebelum Islam, tidak menganggap apa-apa terhadap perempuan. Tetapi begitu nama mereka disebut-sebut Tuhan (dalam al-Qur’ân), kami baru mengetahui bahwa ternyata mereka mempunyai hak-hak atas kami... (bersambung)


[1]Lihat, Muhammad Ali Qutub, Fa«lu Tarbiyat Al-Banati Fi Al-Islam, (Qairo: Maktabah Al-Qur’an, t.th.), h. 21.
[2]Ibid.
[3]Surah Al-Nahl ayat 58-59.
[4]Surah Al-Takwir ayat 8-9.
[5]Lihat, Muhammad Ali Qutub, Op. cit., h. 23.
[6]Lihat, Al-Tahir Al-Hadad, Imratuna fi Al-Syafiati wa Al-Mujtama’, (Cet. II; t.t.: Al-D±r Al-Tunisiah l³ Al-Nasyan, 1972), h. 30.
[7]Lihat, Muhammad Rasyid Ridha, Huquq Al-Mar’at Al-Muslimat, (Qairo: Ma¯ba’ah Al-Manar, 1931), h. 19.