Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Selasa, 27 Maret 2012

Luasnya Dimensi Ibadah

Oleh: Makmun NawawiDiriwayatkan dari Abu Dzar ra, ia berkata, “Orang-orang berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Tetapi, mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka’.

Nabi bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dengannya engkau bisa bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah, dan bersetubuh (dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan ia melampiaskan syahwatnya?’ Rasulullah bersabda, ‘Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang haram ia memperoleh dosa? Demikian pula jika ia menempatkan syahwatnya pada yang halal maka ia pun akan mendapatkan pahala’.” (HR Muslim).

Ketika kita diserbu oleh pesona iklan yang luar biasa dari banyak produk, impian pun melambung tinggi untuk segera memilikinya, seperti rumah, kendaraan, elektronik, atau perkakas rumah yang serbamewah. Ketika gaya hidup mewah sudah menyergap, korupsi menjadi mata pencaharian, maka banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan, hanya bisa gigit jari. Ada yang apatis, muak, jengah, namun tak urung ada pula yang terjerat dalam hayalan yang berkepanjangan.

Di tengah interaksi kehidupan Nabi dan para sahabatnya, bukan tidak ada orang yang kaya raya. Namun, bagaimana kekayaan yang mereka miliki justru dipersembahkan untuk sesuatu yang lebih agung, lebih luhur, dan abadi, yakni di jalan Allah. Sehingga, cita-cita dan obsesi para sahabat yang miskin yang melihatnya pun bukan untuk memiliki harta yang melimpah ruah, kendaraan yang mewah, istana yang megah, atau baju yang indah seperti mereka. Namun, bagaimana mereka juga bisa beramal seperti sahabat yang kaya demi kebahagiaan di akhirat. (QS al-A‘la: 16-17, dan adh-Dhuha: 4).

Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa dimensi ibadah dalam Islam itu begitu luas. Bukan hanya sebatas harta, namun juga menjangkau banyak sisi kehidupan yang nyaris semua orang bisa melakukannya, tergantung lemah dan kuatnya niat. Jika tidak kuat secara materi maka bisa melalui fisik, pikiran, atau apa pun yang kita mampu. Bukankah tasbih, tahmid, dan tahlil nyaris tidak membutuhkan pengorbanan fisik dan materi sedikit pun dari pelakunya? Demikian pula amar makruf nahi mungkar.

Bahkan, ketika sepasang suami-istri menunaikan haknya masing-masing, di mana mereka bisa mereguk nikmatnya berkeluarga, justru di situ pun terbentang pahala. Karena, ketika hal itu disalurkan kepada yang haram maka pelakunya akan menuai dosa.
Demikian pula dengan perilaku seseorang ketika makan, minum, berbisnis, berjalan, belajar, bekerja, berbicara, menelepon, facebook-an, chatting, berinteraksi dengan sesama, dan aktivitas lainnya, semua itu tetap bernilai ibadah, sepanjang berada dalam koridor yang halal, menjalankan ketaatan, atau menghindari larangan. Karena itu, banyak ruang dan tempat untuk meraih keridaan Allah. Wallahu a‘lam bish-shawab. Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Fatwa Qardhawi: Hukum Donor Organ Tubuh Ketika Masih Hidup

Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya?
Atau apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.

Namun demikian, perlu diperhatikan d isini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah: "... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu..." (QS An-Nur: 33)
Akan tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.

Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.
Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.
Apabila seorang Muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah  jilatan  api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang Muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?

Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum Muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya. Bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini—menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini—menunjukkan bahwa donor  darah dapat diterima syara'.

Di dalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang Muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang Muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.

Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.

Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu? Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.

Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi, "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi, "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."
Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.
Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar. Sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah seorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor), seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang (mengutangkan sesuatu kepadanya).

Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?
Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.

Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula halnya orang gila.
Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang di bawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal organ tubuh.

Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer & republika.co.id

Fatwa Qardhawi: Hubungan Seksual Suami-Istri

Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka. Maka hendaknya mereka memerhatikan atau menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan dan kelangsungan hubungan suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi SAW, yaitu menikah.
Nabi SAW telah menyatakan sebagai berikut: "Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih khusyuk, kepada Allah daripada kamu. Tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku."
  
Islam telah menerangkan terhadap kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dan masalah-masalah seksual. Bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat.
Sebagaimana dikatakan Nabi SAW, "Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik."

Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan dapat menahan diri.
Karenanya diharuskan  bagi  wanita  menerima  dan  menaati panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, "Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang masak." (HR Tirmidzi)

Nabi SAW menganjurkan supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
Nabi SAW bersabda, "Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi." (Muttafaq Alaih).

Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi hamba-hamba-Nya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya hamba-Nya juga menerima uzur tersebut.

Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa. Nabi SAW bersabda, "Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya." (Muttafaq Alaih)
Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi SAW menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam. Beliau bersabda, "Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (istrimu) ada hak."

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf, dalam kitab Ihya' mengenai adab bersetubuh, berkata, "Disunnahkan memulainya dengan membaca basmalah dan berdoa, sebagaimana diajarkan Nabi SAW, "Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku."
Al-Ghazali berkata, "Dalam  suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya. Dan menutup diri mereka dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."

Menurut Ibnul Qayyim, tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu adalah: 1) Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah. 2) Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus. 3) Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana  kelak di surga.
Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan.
Nabi SAW bersabda, "Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."
Kemudian Ibnul Qayyim berkata,  "Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya."

Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat konservatif. Bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa kini.
Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan seksual di antara kedua pasangan, suami-istri, yang telah diterangkan dalam Alquranul Karim pada surah Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga.

Firman Allah SWT: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan  Allah, maka janganlah kamu mendekatinya..." (QS Al-Baqarah: 187).

Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu: "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (QS Al-Baqarah: 187)

Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS Al-Baqarah: 222-223)

Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
Pada ayat di atas disebutkan: "Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara bagaimanapun kamu kehendaki." (QS Al-Baqarah: 223)
Tidak  ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam Alquranul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas.

Sumber: Fatwa Qardhawi & republika.co.id

Senin, 26 Maret 2012

Fatwa Qardhawi: Hal yang Membatalkan Keislaman Seseorang

Setiap manusia, apabila telah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia menjadi orang Islam. Baginya wajib dan berlaku hukum-hukum Islam, yaitu beriman akan keadilan dan kesucian Islam. Wajib baginya menyerah dan mengamalkan hukum Islam yang  jelas, yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Tidak ada pilihan baginya menerima atau meninggalkan sebagian. Dia harus menyerah pada semua hukum yang dihalalkan dan yang diharamkan, sebagaimana arti (maksud) dari ayat berikut: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi wanita yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang  lain) tentang urusan mereka ..." (QS. Al-Ahzab: 36).
Perlu diketahui bahwa ada diantara hukum-hukum Islam yang sudah jelas menjadi kewajiban-kewajiban, atau yang sudah jelas diharamkan (dilarang), dan hal itu sudah menjadi ketetapan yang tidak diragukan lagi, yang telah diketahui oleh umat Islam pada umumnya. Yang demikian itu dinamakan oleh para ulama: "Hukum-hukum agama yang sudah jelas diketahui."
Misalnya, kewajiban shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal itu termasuk rukun-rukun Islam. Ada yang diharamkan, misalnya membunuh,  zina, melakukan riba, minum khamar dan sebagainya.
Hal itu termasuk dalam dosa besar. Begitu juga hukum-hukum pernikahan, talak, waris dan qishash, semua itu termasuk perkara yang tidak diragukan lagi hukumnya.
Barangsiapa yang mengingkari sesuatu dari hukum-hukum tersebut, menganggap ringan atau mengolok-olok, maka dia menjadi kafir dan murtad. Sebab, hukum-hukum tersebut  telah diterangkan dengan jelas oleh Alquran dan dikuatkan dengan hadis-hadis Nabi SAW yang shahih atau mutawatir, dan menjadi  ijma' oleh umat Muhammad SAW dari generasi ke generasi. Maka, barangsiapa yang mendustakan hal ini, berarti mendustakan Alquran dan As-Sunnah.
Mendustakan (mengingkari) hal-hal tersebut dianggap kufur, kecuali bagi orang-orang yang baru masuk Islam (mualaf) dan jauh dari sumber informasi. Misalnya, berdiam di hutan atau jauh dari kota dan masyarakat kaum Muslimin. Setelah mengetahui ajaran agama Islam, maka berlaku hukum baginya.
 
Sumber: Fatawa Qardhawi &  republika.co.id

Fatwa Qardhawi: Hukum Mengkonsumi Narkoba

Ganja, heroin, serta bentuk lainnya baik padat maupun cair yang terkenal dengan sebutan mukhaddirat (narkotik) adalah termasuk benda-benda yang diharamkan syara' tanpa diperselisihkan lagi di antara ulama.
Dalil yang menunjukkan keharamannya adalah sebagai berikut:

1. Ia termasuk kategori khamar menurut batasan yang dikemukakan Amirul Mukminin Umar bin Khathab ra, "Khamar ialah segala sesuatu yang menutup akal."
Yakni yang mengacaukan, menutup, dan mengeluarkan akal dari tabiatnya yang dapat membedakan antar sesuatu dan mampu menetapkan sesuatu. Benda-benda ini akan memengaruhi akal dalam menghukumi atau menetapkan sesuatu, sehingga terjadi kekacauan dan ketidaktentuan, yang jauh dipandang dekat dan yang dekat dipandang jauh. Karena itu sering kali terjadi kecelakaan lalu lintas sebagai akibat dari pengaruh benda-benda memabukkan itu.
   
2. Barang-barang tersebut, seandainya tidak termasuk dalam kategori khamar atau "memabukkan," maka ia tetap haram dari segi "melemahkan" (menjadikan loyo).
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan (menjadikan lemah)."
Al-mufattir ialah sesuatu yang menjadikan tubuh loyo tidak bertenaga. Larangan dalam hadits ini adalah untuk mengharamkan, karena itulah hukum asal bagi suatu larangan, selain itu juga disebabkan dirangkaikannya antara yang memabukkan—yang sudah disepakati haramnya—dengan mufattir.
   
3. Bahwa benda-benda tersebut seandainya tidak termasuk  dalam kategori memabukkan dan melemahkan, maka ia termasuk dalam jenis khabaits (sesuatu yang buruk) dan membahayakan. Sedangkan diantara ketetapan syara', bahwa lslam mengharamkan memakan sesuatu yang buruk dan membahayakan, sebagaiman firman Allah dalam menyifati Rasul-Nya di dalam kitab-kitab Ahli Kitab, "...Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk..." (QS. Al-A'raf: 157).
Dan Rasulullah saw bersabda, "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh memberi bahaya (mudarat) kepada orang lain."
Segala sesuatu yang membahayakan manusia adalah haram. "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa': 29).
"...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan..."
(QS. Al-Baqarah: 195).
Dalil lainnya  mengenai  persoalan  itu  ialah  bahwa  seluruh pemerintahan (negara) memerangi narkotik  dan menjatuhkan hukuman  yang  sangat  berat  kepada  yang  mengusahakan dan mengedarkannya. Sehingga pemerintahan suatu  negara  yang memperbolehkan khamar dan minuman  keras  lainnya  sekalipun, tetap memberikan hukuman berat kepada siapa saja yang terlibat narkotik. Bahkan sebagian  negara menjatuhkan  hukuman  mati kepada  pedagang dan pengedarnya. Hukuman ini memang tepat dan benar, karena  pada  hakikatnya  para  pengedar  itu  membunuh bangsa-bangsa  demi mengeruk kekayaan. Oleh karena itu, mereka lebih layak mendapatkan hukuman qishash dibandingkan orangyang membunuh seorang atau dua orang manusia.
Syekhul lslam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya mengenai apa yang wajib diberlakukan terhadap orang  yang mengisap  ganja  dan  orang  yang  mendakwakan bahwa semua itu jaiz, halal, dan mubah?
Beliau menjawab, "Memakan (mengisap) ganja yang keras ini  terhukum  haram,  ia termasuk  seburuk-buruk benda kotor yang diharamkan. Sama saja hukumnya, sedikit atau banyak, tetapi  mengisap  dalam  jumlah banyak  dan  memabukkan  adalah haram menurut kesepakatan kaum Muslim. Sedangkan orang yang  menganggap  bahwa  ganja  halal, maka  dia  terhukum  kafir  dan diminta agar bertobat. Jika ia bertobat maka selesailah  urusannya,  tetapi  jika  tidak  mau bertobat  maka  dia  harus dibunuh sebagai orang kafir murtad, yang tidak perlu dimandikan jenazahnya, tidak perlu dishalati, dan  tidak boleh dikubur di pemakaman kaum Muslim. Hukum orang yang murtad itu lebih buruk daripada orang Yahudi dan Nasrani, baik ia beritikad  bahwa hal itu halal bagi masyarakat umum maupun hanya untuk orang-orang tertentu yang beranggapan bahwa ganja  merupakan  santapan  untuk berpikir dan berdzikir serta dapat  membangkitkan  kemauan yang beku ke tempat yang terhormat, dan untuk itulah mereka mempergunakannya."

Dengan demikian, nyatalah bagi kita bahwa ganja, opium, heroin, morfin, dan sebagainya  yang  termasuk  makhaddirat (narkotik)—khususnya jenis-jenis membahayakan yang sekarang mereka istilahkan dengan racun putih—adalah haram dan sangat haram  menurut  kesepakatan  kaum  muslim, termasuk dosa besar yang membinasakan, pengisapnya wajib  dikenakan  hukuman,  dan pengedar  atau pedagangnya harus dijatuhi hukuman mati, karena ia memperdagangkan ruh umat untuk memperkaya dirinya  sendiri.

Maka orang-orang  seperti  inilah  yang  lebih  utama  untuk dijatuhi hukuman seperti yang tertera dalam firman Allah, "Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 179).

Adapun hukuman  ta'zir  menurut  para  fuqaha  muhaqqiq  (ahli membuat  keputusan)  bisa saja berupa hukuman mati, tergantung kepada mafsadat yang ditimbulkan pelakunya.
Selain itu, orang-orang  yang  menggunakan  kekayaan  dan jabatannya  untuk  membantu orang yang terlibat narkotik ini, maka mereka termasuk golongan. "...Orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi..." (QS. Al-Ma'idah: 33).
Bahkan kenyataannya, kejahatan dan kerusakan  mereka  melebihi perampok  dan  penyamun,  karena  itu  tidak mengherankan jika mereka dijatuhi hukuman seperti perampok dan penyamun. "...Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang berat." (QS. Al-Ma'idah: 33).

Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer dan republika.co.id

Fatwa Qardhawi: Hukum Istri Menafkahi Keluarga

Di zaman modern ini, sudah jamak seorang wanita bekerja di luar rumah dengan beragam profesi. Ada yang jadi guru, dokter, wartawan, pengusaha, politikus, bahkan menteri.
Dengan penghasilannya yang bisa jadi lebih besar ketimbang pendapatan sang suami, tak jarang seorang wanita yang telah berstatus sebagai istri ikut membantu perekonomian keluarga. Dengan kata lain, ia ikut menafkahi keluarga. Bagaimana jika terjadi hal seperti ini?
Tentang hal ini, ulama besar Dr Syekh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, kewajiban memberi nafkah keluarga sejatinya ada pundak suami. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 34: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) dari sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
Menurut Qardhawi, kalaupun ada wanita yang menginfakkan hartanya untuk keluarga, hal itu hanya merupakan sikap tolong-menolong dan akhlaknya (etika) sebagai seorang istri. Jadi, bukan karena keharusan atau kewajiban yang harus ia penuhi.
"Walaupun termasuk orang kaya atau mempunyai pekerjaan yang menghasilkan harta banyak, seorang istri tidak wajib menafkahi keluarganya. Para imam mazhab pun tidak ada yang mewajibkan istri yang kaya untuk menafkahi suaminya yang miskin. Kecuali imam golongan Adz-Dzahiri, yaitu Imam Ibnu Hazm," jelasnya.
Meski demikian, lanjut ulama kelahiran Mesir ini, sebaiknya wanita yang bekerja di luar rumah ikut membantu menafkahi keluarganya. Apalagi, jika tugas atau pekerjaannya di luar rumah mengharuskan ada pembantu rumah tangga atau guru untuk anak-anaknya. Atau menuntut ada tambahan nafkah untuk keperluan pekerjaannya, seperti baju-baju atau untuk transportasi.
Paling tidak, wanita ikut membantu menafkahi sepertiga dari kebutuhan rumah tangga. Sisanya ditanggung suami. "Jadi, sebagaimana suami menanggung sebagian kewajiban istri, maka istri juga ikut menanggung kewajiban suaminya, memberi nafkah," ujar Qardhawi.

Rekening sendiri

Karena bekerja dan memiliki penghasilan, mereka pun biasanya memiliki rekening sendiri. Syekh Qardhawi tak mempermasalahkan hal ini, bahkan mendukungnya. "Saya sendiri mendukung istri mempunyai rekening sendiri agar suami tidak tamak dengan harta istrinya," ujar ulama yang sekarang menetap di Doha, Qatar ini.
Dalam hal ini suami tidak boleh marah, kecuali jika istri punya niat yang tidak baik. Ia pun menyarankan, tabungan suami dan istri jangan sampai dicampur dalam satu rekening. "Biarkanlah masing-masing menggunakan namanya sendiri. Karena setiap manusia berhak atas hartanya."
Islam, lanjut Qardhawi, telah memerdekakan wanita dari kungkungan-kungkungan (kezaliman) pada zaman jahiliyah dengan berbagai bentuknya, terutama dalam hal kepemilikan harta yang tidak bergerak seperti tanah, kebun dan lain-lain, dan harta yang bergerak seperti mobil, emas, berlian, dan lain-lain.
Dalam hal ini, Islam menjadikan kepemilikan wanita tersendiri, terlepas dari kepemilikan orang tua dan suaminya. Artinya, sudah menjadi haknya untuk mempergunakan sekehendaknya, seperti untuk membeli, menjual, memberi, atau menginfakkannya. "Semua itu terserah dia, sebagaimana laki-laki bebas mempergunakan hartanya. Tidak ada yang berhak melarang dan memaksanya," tegas Qardhawi.
"... Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita pun ada bagian yang mereka usahakan..."
(QS. An-Nisa: 32).
Karena itu, menjadi hak wanita untuk membuka rekening tabungan di bank atas namanya sendiri, baik untuk menabung harta dari hasil usahanya sendiri, dari harta warisan, maupun hadiah dari ayahnya, hadiah dari ibunya, atau dari yang lainnya. 


Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer dan www.republika.co.id