Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Kamis, 28 Juli 2011

Pesantren (Madrasah) of South Sulawesi in 20th Century

 Pesantrens are important social and educational institutions, which contribute to the perpetuation and adaptation of the Indonesian Muslim tradition either in local, national and even international spheres. Historically, these institutions have acted as agents of social change within the cultural fabric of society. According to Salim (2001), at least three factors contribute to the importance of pesantren. First, pesantren is instrumental in the development of Muslim tradition. Pesantrens traditionally provide legitimation for rural society and they are acknowledged as cultural symbols and effective media that influence social change. Second, studies on pesantren are rarely conducted either by local or Western scholars. In this sense, Abdurahman Wahid believes that there is a misunderstanding of the role of pesantren due to a lack of serious research and studies. Therefore, scientific research on the one hand must endeavor to give a real description of the strengths and potential of pesantren to enforce change, on the other; it may offer constructive criticism of the role of pesantren. Third, the pesantren tradition is not static but dynamic as it preserves the continuity of tradition and accepts changes.
In the 20th century, pesantren with its traditional teaching methods and system faced crucial challenges not only from the modern education system introduced by the Dutch but also from Muslim community, which began to adopt modern educational systems. Some pesantrens such As’adiyah (Sengkang), DDI (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Hasan al-Yamani (Polmas), deal with Islamic education and greatly contribute to the enhancement of the national educational program. This pesantren attracted many santris both from local community and from outside of the South Sulawesi province. There have been many students who came from different regions of South Sulawesi such as Wajo, Soppeng, Bone, Sidrap, Maros, Luwu-Palopo, Gowa, Jeneponto and many others. The students of this pesantren also come from different provinces such as East Kalimantan, South East Sulawesi, Central Sulawesi, Southeast Nusatenggara (NTT), Riau and Jambi.
In Java and South Sulawesi, however, the strength of an Islamic education is not found in madrasah (religious school) as in most Islamic countries, but in the pesantren system. Unlike most pesantrens in Java, which are owned by the kiyai, most pesantrens in South Sulawesi are not owned by a kiyai but by the Islamic community around the pesantren. There are some reasons: First, the intellectual chain of Ulama is not limited to certain family. Second, the Gurutta (kiyai) him self does not want to own that pesantren due to this pesantren for him is a merely a tool of ibadah. Third, most pesantren are donated by the local Government and Muslim community.
Gurutta H. M. As’ad al-Buqisy established Pesantren As’adiyah in 1930 and played a decisive role in the emergence of some well-known pesantren and religious leaders in South Sulawesi. They are Pesantren Yastrib established by Gurutta H. Daud Ismail (Soppeng), Pesantren DDI by H. Abdul Rahman Ambo Dalle (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Pesantren al-Furqan by H. Muh. Abduh Pabbajah (Parepare), Pesantren Ma’had al-Hadith by H. Junaid Sulaiman (Bone), Pesantren Al-Urwah al-Wutsqa by H. Abdul Muin Yusuf (Sidrap). , and the Pesantren Nurul al-Junaidiyah by H. Abdul Azis (Luwu Utara).
One of the unique features of Indonesia since its independence in 1945 is that the country has adopted a dual system of education. Even though, the Indonesian government has developed modern secular education however, the government also believes that the traditional Islamic education such as Pesantren and Madrasah that has evolved over many centuries must not be abolished or neglected.


Sabtu, 16 Juli 2011

PERAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA


Oleh: Sulaiman Ibrahim

A. Pendahuluan

Perempuan adalah kelompok manusia yang selalu tertindas. Pernyataan ini adalah gambaran tentang pengalaman kelam sekaligus potret buram kondisi perempuan di sepanjang sejarah. Tidak pernah dalam satu masyarakat, kapan dan di manapun, perempuan dihargai layaknya laki-laki, terutama yang berkaitan dengan seksualitas dan produktifitas ekonomi. Ironisnya, ketertindasan ini dialami oleh perempuan di dalam rumah tangganya dan oleh orang-orang dekatnya sendiri (ayah atau suaminya).
Perubahan tatanan dan pola hidup masyarakat dari masa ke masa, mulai dari kehidupan primitif sampai pada masyarakat industri, telah mengakibatkan perkembangan taraf kehidupan perempuan. Akan tetapi, bukan berarti segala bentuk penindasan terhadap mereka telah terhapus. Era industri yang mengantar manusia ke peradaban modern masih mewarisi nilai-nilai yang ada sebelumnya. Perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan masih sangat kental dalam berbagai aspek kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, dan lainnya. Pendeknya, status quo perempuan sebagai mahluk yang tertindas masih tetap bertahan sampai sekarang.
Bahwa perempuan adalah kelompok manusia yang selalu tertindas, dapat dibuktikan dengan konsep kepemimpinan dalam keluarga. Pandangan yang mengakar di dalam masyarakat bahwa suami/ayah adalah kepala rumah tangga. Hal ini, disadari atau tidak, menggambarkan hubungan yang hierarkis, di mana perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki, atau selalu tunduk dan patuh terhadap kebijakan laki-laki. Ketika masih berstatus gadis, perempuan harus tunduk sepenuhnya kepada kebijakan dan keputusan sang ayah, dan setelah berumah tangga hal yang sama harus ditunjukkan kepada sang suami. Ini artinya pandangan tersebut menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kelas dua (the second sex). Bukan hanya masalah hirarki, tetapi dari pandangan tersebut lahir banyak masalah turunan, seperti dikotomi peran publik-domestik, tindakan pemaksaan dan sewenang-wenang terhadap isteri dan anak gadis, beban ganda (double burden), dan lain-lain.
Masalah-masalah di atas secara akumulatif semakin memperburuk nasib perempuan. Dikotomi peran mengakibatkan perempuan terdomestikasi. Mereka (isteri) harus terkungkung oleh keempat dinding rumahnya sendiri, dan pada saat yang sama laki-laki (suami) bebas berkiprah seluas akses yang dapat dijangkaunya. Celakanya, diamnya mereka di rumah dengan aneka urusan kerumahtanggaan dipandang sebagai kewajiban, sehingga tidak pernah dinilai sebagai kerja produktif secara ekonomis yang membutuhkan perhitungan jam kerja dengan imbalan yang sesuai. Kemudian, dengan dalih sebagai pemimpin, tidak kurang suami berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya, bahkan sampai pada tindakan yang dapat dimasukkan dalam kotak “tindak pidana kekerasan”.
Posisi tawar yang tidak berimbang antara laki-laki dan perempuan ini mengakibatkan ketergantungan perempuan yang mengantar pada kondisi kepasrahan dan ketakberdayaan. Karenanya, posisi sebagai isteri tidak selamanya mendapatkan jaminan keamanan dan pengayoman yang memadai. Dengan dalih sebagai pemimpin, tidak sedikit suami memaksa isterinya untuk meninggalkan pekerjaan dan menanggung tekanan-tekanan, baik psikis maupun fisik.
Dewasa ini sudah banyak perempuan yang bekerja di wilayah publik, wilayah yang pada mulanya hanya dapat diakses oleh laki-laki. Hal ini terjadi, selain karena kemajuan industri yang tidak meletakkan kriteria jenis kelamin secara ketat, juga karena dorongan dan motivasi untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Namun kemudian, masalah lain pun muncul, seorang isteri harus menanggung beban ganda (double burden). Di samping mereka membongkar “laci dunia” dengan tangan kirinya, ia juga harus tetap menggoyang ayunan dengan tangan kanannya. Di samping ia tertuntut untuk ikut serta meringankan beban ekonomi keluarga, ia juga tetap dipandang wajib memberikan ASI untuk bayinya dan mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggan lainnya.
Dikotomi peran publik-domestik tidak langgeng dengan sendirinya. Ia diperkuat oleh argumen-argumen pembenaran, seperti distingsi struktur biologis antara laki-laki dan perempuan, interpretasi dalil-dalil agama, dan rekonstruksi berbagai disiplin ilmu yang terkait. Akan tetapi, seperti yang dikemukakan oleh banyak pakar dan pemerhati hak-hak perempuan, di antara beberapa faktor yang ada, interpretasi dalil agama atau doktrin teologislah sebagai penyebab utama (primacausa) semua ini. Faktor ini memberikan pengaruh yang luar biasa, sampai-sampai relasi jender yang hierarkis dalam rumah tangga telah mengendap di alam bawah sadar baik laki-laki maupun perempuan. Usaha klarifikasi bukan hanya berhadapan dengan kaum laki-laki, tetapi tidak jarang harus berhadapan dengan tantangan kaum perempuan sendiri. Tentu saja tantangan ini bukan karena kecurigaan atau sikap apriori semata. Kesadaran seksis yang memunculkan upaya penegakan kesetaraan dan keadilan jender – termasuk melepaskan keluarga dari relasi jender yang hierarkis – dianggap menghancurkan nilai-nilai agama dan merusak tatanan masyarakat yang Islami. Yang dimaksud interpretasi dalil agama di sini harus ditegaskan, karena dalil-dalil agama sesungguhnya tidak mungkin menuntun manusia pada tindak ketidakadian dan kekerasan. Artinya, antara dalil agama dan interpretasinya harus dipisahkan, karena keduanya memang sangat berbeda. Dalil agama bersumber dari Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Adil, sedangkan interpretasi adalah proses kerja akal manusia yang kebenarannya bersifat relatif.
            Lalu bagaimana keadilan jender kususnya yang terkait dengan peran laki-laki dan perempuan berdasarkan dalil-dalil agama tersebut. Pragraf-pragraf berikut menuangkan interpretasi yang lebih selaras dengan semangat qur’ani. Namun sebelumnya, dirasakan ada desakan untuk memaparkan secara singkat fluktuasi posisi dan peran perempuan dari masa ke masa.