Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Minggu, 08 Mei 2011

Pembaruan Pendidikan Islam

oleh Prof Dr Azyumardi Azra MA

Sejak Peristiwa 11 September 2001 di WTC New York dan markas Pentagon Washington DC, pendidikan Islam menjadi sorotan banyak kalangan Barat. Pendidikan Islam, khususnya madrasah seperti di Afghanistan, Pakistan, dan Yaman, misalnya, mereka curigai sebagai tempat persemaian radikalisme dan 'Talibanisme' yang berujung pada terorisme.
Bagaimana lembaga, para pemangku kepentingan, dan pemerintah negara-negara Muslim merespons perkembangan tersebut? Apakah tekanan dalam dan luar negeri itu mendorong perubahan dan pembaruan pendidikan Islam?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi topik pembicaraan dalam Konferensi Reforms in Islamic Education yang diselenggarakan Pusat Kajian Islam Universitas Cambridge dan Universitas Edinburgh Inggris 9-10 April 2011. Konferensi menghadirkan pembahasan tentang berbagai aspek pendidikan Islam, baik di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Mesir, ataupun minoritas Muslim di Inggris, Jerman, Swiss, Belanda, Bosnis-Hercegovina, Swedia, Amerika Serikat, dan Kanada.
Pendidikan Islam jelas tidak seragam di berbagai kawasan dunia tersebut; dan sejarah pembaruan dalam pendidikan Islam sangatlah panjang. Sebagian besar lembaga pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Muslim mengalami pembaruan jauh sebelum terjadinya ketegangan antara Barat dan dunia Muslim. Tujuan pembaruan tidak lain agar membuat peserta didik dan lulusan pendidikan Islam dapat memiliki pandangan dunia keislaman yang kuat dan pada saat yang sama siap menghadapi tantangan dunia modern dengan ilmu dan keahlian.
Di banyak kawasan Timur Tengah, pendidikan Islam sepenuhnya dinasionalisasikan ke dalam sistem pendidikan umum sejak awal 1960-an. Pendidikan formal umum sepenuhnya berada di bawah kontrol negara. Dengan begitu, tidak ada lagi sistem dan kelembagaan yang secara khusus dapat disebut sebagai pendidikan Islam. Jika ada lembaga pendidikan Islam; itu hanya dalam bentuk lembaga pendidikan 'non-formal' semacam kuttab yang menjadi tempat anak-anak untuk belajar membaca Alquran.
Sementara itu, di Pakistan dan Afghanistan, pendidikan Islam-khususnya madrasah-tetap berada di luar sistem pendidikan nasional dengan ideologi dan kurikulumnya sendiri. Usaha negara mereformasi madrasah tidak pernah berhasil, sehingga ia tetap sepenuhnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama sesuai ideologi para pemilik dan pengasuhnya. Karena itulah, madrasah semacam ini sangat rentan menjadi tempat bagi sektarianisme keagamaan yang kian sulit terselesaikan.
Pada saat yang sama, pendidikan Islam yang terus tumbuh di banyak negara Barat sejak di Eropa dan Amerika Utara berjuang untuk mendapat pengakuan negara sehingga para lulusannya dapat melanjutkan mobilitas pendidikan mereka. Untuk itu, mereka harus mengadopsi kurikulum dan standar pendidikan negara Barat setempat. Jika memenuhi syarat, lembaga pendidikan Islam tersebut bisa mendapat biaya sepenuhnya atau setidaknya subsidi dari pemerintah bersangkutan seperti berlaku di Inggris dan Belanda.
Sedangkan di Indonesia pendidikan Islam terintegrasi ke dalam arus utama pendidikan nasional-menciptakan dua sistem paralel, di mana pendidikan Islam berjalan sejajar dengan pendidikan umum. Sistem paralel ini membuat pendidikan Islam setara dengan pendidikan umum, yang memungkinkan terjadinya mobilitas pendidikan lebih luas bagi para peserta didiknya. Bahkan, lembaga pendidikan Islam formal ini juga dilengkapi dengan lembaga pendidikan nonformal di luar waktu sekolah semacam diniyah; memperkuat penanaman nilai-nilai Islam kepada generasi muda Muslim.
Bagi saya yang berbicara dalam panel dengan Tariq Ramadan, guru besar di Universitas Oxford dan Michael S Merry, guru besar Universitas Amsterdam yang banyak meneliti pendidikan Islam di Eropa dan Amerika Utara, pendidikan Islam Indonesia lebih menjanjikan dibanding negara-negara lain, bahkan di dunia Arab sekalipun. Sistem pendidikan Islam Indonesia bahkan bisa disebut sebagai terbesar di seluruh dunia sejak dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Cakupan substansi dan kurikulumnya hampir mencakup seluruh bidang ilmu keislaman, baik yang bersumber dari ayat-ayat Qur'aniyyah maupun ayat-ayat kauniyah.
Tidak kurang pentingnya lebih dari 70 persen lembaga pendidikan Islam tersebut berada di tangan komunitas dan yayasan umat Islam sendiri. Sisanya ada di tangan pemerintah. Ini menunjukkan 'independensi' umat baik dalam pendanaan dan penyelenggaran pendidikan Islam-meski banyak juga lembaga pendidikan Islam swasta ini berjalan 'seadanya'. Tetapi pada pihak lain, peningkatan kemampuan ekonomi umat, juga telah memungkinkan munculnya madrasah, sekolah Islam, pesantren, dan perguruan tinggi Islam swasta yang bermutu kian baik. Dengan begitu, lembaga-lembaga pendidikan Islam ini kian membaik pula citranya-dan bahkan tidak jarang menjadi simbol status sosial.

(Tulisan diatas dimuat pada Harian Republika, Kamis, 21 April 2011).

Pesantren of South Sulawesi in 20th Century


              Pesantrens are important social and educational institutions, which contribute to the perpetuation and adaptation of the Indonesian Muslim tradition either in local, national and even international spheres. Historically, these institutions have acted as agents of social change within the cultural fabric of society. According to Salim (2001), at least three factors contribute to the importance of pesantren. First, pesantren is instrumental in the development of Muslim tradition. Pesantrens traditionally provide legitimation for rural society and they are acknowledged as cultural symbols and effective media that influence social change. Second, studies on pesantren are rarely conducted either by local or Western scholars. In this sense, Abdurahman Wahid believes that there is a misunderstanding of the role of pesantren due to a lack of serious research and studies. Therefore, scientific research on the one hand must endeavor to give a real description of the strengths and potential of pesantren to enforce change, on the other; it may offer constructive criticism of the role of pesantrenThird, the pesantren tradition is not static but dynamic as it preserves the continuity of tradition and accepts changes.[1]
              In the 20th century, pesantren with its traditional teaching methods and system faced crucial challenges not only from the modern education system introduced by the Dutch but also from Muslim community, which began to adopt modern educational systems. Some pesantrens such As’adiyah (Sengkang), DDI (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Hasan al-Yamani (Polmas), deal with Islamic education and greatly contribute to the enhancement of the national educational program. This pesantren attracted many santris both from local community and from outside of the South Sulawesi province. There have been many students who came from different regions of South Sulawesi such as Wajo, Soppeng, Bone, Sidrap, Maros, Luwu-Palopo, Gowa, Jeneponto and many others. The students of this pesantren also come from different provinces such as East Kalimantan, South East Sulawesi, Central Sulawesi, Southeast Nusatenggara (NTT), Riau and Jambi.[2]
              In Java and South Sulawesi, however, the strength of an Islamic education is not found in madrasah[3] (religious school) as in most Islamic countries, but in the pesantren system. Unlike most pesantrens in Java, which are owned by the kiyai, most pesantrens in South Sulawesi are not owned by a kiyai but by the Islamic community around the pesantren. There are some reasons:  First, the intellectual chain of Ulama is not limited to certain family. Second, the Gurutta (kiyai) him self does not want to own that pesantren due to this pesantren for him is a merely a tool of ibadah. Third, most pesantren are donated by the local Government and Muslim community.
              Gurutta H. M. As’ad al-Buqisy established Pesantren As’adiyah in 1930 and played a decisive role in the emergence of some well-known pesantren and religious leaders in South Sulawesi. They are Pesantren Yastrib established by Gurutta H. Daud Ismail (Soppeng), Pesantren DDI by H. Abdul Rahman Ambo Dalle (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Pesantren al-Furqan by H. Abd. Pabbaja (Parepare), Pesantren Ma’had al-Hadith by H. Junaid Sulaiman (Bone), Pesantren Al-Urwah al-Wutsqa by H. Abdul Muin Yusuf (Sidrap).[1], and the Pesantren Nurul al-Junaidiyah by H. Abdul Azis (Luwu Utara).
              One of the unique features of Indonesia since its independence in 1945 is that the country has adopted a dual system of education. Even though, the Indonesian government has developed modern secular education however, the government also believes that the traditional Islamic education such as Pesantren and Madrasah that has evolved over many centuries must not be abolished or neglected.





[1]Muhammad Yunus Pasanreseng, Sejarah Berdirinya Pesantren As’adiyah (Sengkang: Adil, 1992), p. 15-34.


[1] Hairus Salim H.S, editorial introduction in Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esei-esei Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), p. ix

[2] Madrasah is derived from Arabic means a palce of study. Madrasah is basically religious scholl which is different from public scholl.  The first madrasah, madrasah nizamiyah, was established by Nizam al-Mulk in 457 H. In this sense, madrasah (religious school) is a place to study religious matters, which has certain curriculum. See, H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkenbangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p. 60.

[3] Madrasah is derived from Arabic means a palce of study. Madrasah is basically religious scholl which is different from public scholl.  The first madrasah, madrasah nizamiyah, was established by Nizam al-Mulk in 457 H. In this sense, madrasah (religious school) is a place to study religious matters, which has certain curriculum. See, H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkenbangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p. 60.