Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Minggu, 17 April 2011

Islam Keras dan Santun

Oleh: K.H. Aqil Sirajd

Tema radikalisme Islam kembali mencuat. Sebutannya pun bisa beragam, seperti ekstrem kanan, fundamentalis, dan militan. Ada juga yang menyebut radikal dengan sebutan Neo-Khawarij dan Khawarij abad ke-20.
Radikalisme sekelompok Muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang keladi radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia.
Gerakan radikalisme bukan sebuah gerakan spontan, tetapi memiliki faktor pendorong. Gejala kekerasan ”agama” bisa didudukkan sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Akar masalahnya bisa ditelusuri dari sudut sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia.
Faktor lain adalah sentimen keagamaan dan solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Namun, hal ini lebih tepat disebut faktor emosi keagamaan, bukan faktor agama an sich, meski gerakan radikalisme selalu mengibarkan simbol agama seperti jihad dan mati syahid. Emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas, bersifat. Jadi, sifatnya nisbi dan subyektif.
Faktor kultural juga memiliki andil besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Secara kultural, di masyarakat selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jerat jaring-jaring kebudayaan yang dianggap tidak sesuai. Faktor kultural adalah sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme Barat yang dicap sebagai musuh besar.

Islam Indonesia

Islam adalah agama ”pendatang” karena berasal dari Timur Tengah. Namun, berkat proses transformasi yang berjalan damai, Islam menjadi bagian tak terpisahkan kehidupan bangsa Indonesia. Sesuai makna dasar Islam, dari kata aslama, bermakna ”damai”, ternyata para pembawa panji-panji Islam tempo dulu mampu menyebarkan agama Islam dengan damai.
Penyebaran Islam di Indonesia berjalan lancar dan tidak menimbulkan konfrontasi dengan pemeluk agama sebelumnya. Masuk melalui pantai Aceh, Islam dibawa para perantau dari berbagai penjuru, seperti Arab Saudi dan sebagian dari mereka ada yang berasal dari Gujarat.
Penyebab proses Islamisasi berjalan damai karena kepiawaian para mubalig dalam memilih media dakwah, seperti sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dalam penggunaan media budaya, sebagian mubalig memanfaatkan wayang sebagai salah satu media dakwah. Sunan Kalijaga, misalnya, mampu menarik simpati rakyat Jawa yang amat akrab dengan budaya dan tradisi Hindu-Buddha.
Para pembawa panji Islam juga memanfaatkan aspek ekonomi untuk mengembangkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Dari berbagai literatur terungkap, aspek itu menempati posisi strategis dalam upaya Islamisasi di Nusantara. Salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat Nusantara mengikuti agama para pedagang itu karena tata cara dagang serta perilaku sehari-hari lainnya dianggap menarik sanubari masyarakat setempat.
Setelah kokoh menancapkan pengaruhnya di Indonesia, peran Islam lambat laun meningkat ke wilayah politik melalui upaya mendirikan kerajaan Islam, antara lain Kerajaan Pasai, Demak, Mataram, dan Pajang. Lalu, semua itu mengalami keruntuhan karena adanya berbagai faktor, baik konflik internal di antara anggota keluarga kerajaan maupun faktor eksternal seperti serbuan kolonialis Portugis dan Belanda. Namun, posisi Islam tetap kukuh dan kian menyatu dengan kehidupan masyarakat dan hampir selalu memperlihatkan wajahnya yang ramah dan santun. Gejolak yang sifatnya radikal nyaris tak terdengar.

Dakwah santun

Memahami Islam secara tekstualistik akan mendatangkan sikap ekstrem. Padahal, Al Quran tidak melegitimasi sedikit pun perilaku dan sikap yang melampaui batas. Dalam konteks ini, ada tiga sikap yang dikategorikan ”melampaui batas”.
Pertama, ghuluw, bentuk ekspresi berlebihan manusia dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan.
Kedua, tatharruf, sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi kepada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat.
Ketiga, irhab, yang mengundang kekhawatiran karena bisa membenarkan kekerasan atas nama agama. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi.
Idealnya, seorang Muslim harus memahami ajaran Islam secara utuh, hingga berdampak sosial yang positif bagi dirinya. Alangkah kering dan gersangnya agama jika aspek eksoterik dalam Islam hanya sebatas legal-formal dan tekstualistik. Sebuah ayat tentang jihad akan terasa gersang jika pemahamannya dimonopoli tafsir ”perang mengangkat senjata”. Padahal, jihad pada masa Rasulullah merupakan wujud pembebasan rakyat untuk menghapus diskriminasi dan melindungi hak-hak rakyat demi terbangunnya tatanan masyarakat yang beradab.
Puncak keberagamaan seseorang terletak pada sikap arif dan bijaksana (al-hikmah). Di sinilah perlunya mengedepankan aspek esoteris Islam. Sisi ini merupakan pemahaman keislaman yang moderat, serta bentuk dakwah yang mengedepankan qaulan karima (perkataan yang mulia), qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan maisura (perkataan yang pantas), qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut), qaulan baligha (perkataan yang berbekas pada jiwa), dan qaulan tsaqila (perkataan yang berat). Semua sikap itu telah diamanatkan dalam Al Quran.
Said Aqiel Siradj
Ketua PBNU
Dimuat HU Kompas, Jumat, 4 September 2009

Diplomasi Ala Bugis…

Oleh: M. Yusuf Kalla

Sebelum saya menjabat sebagai WAPRES, karakter dan watak orang Bugis sangat jarang yang mengenalnya di belahan nusantara ini. Bahkan ada banyak pendapat yang keliru dan menyangka orang bugis adalah bangsa yang keras dan tidak pernah kenal kompromi. Ini jika melihat dari sejarah banyak yang menganggap bahwa orang bugis adalah bajak laut pada masa silam. Anggapan ini sungguh tidak berdasar dan keliru.

Orang bugis sebenarnya mempunyai cirri khas yang menarik. Dari sejarahnya kerajaan bugis didirikan bukan pada pusat-pusat ibu kota dan sangat jauh dari pengaruh India. Itulah sebabnya di Bugis tidak ada candi. Ini berbeda dengan kerajaan jawa yang mebangun pusat kerajaannya pada ibu kota dan bersifat konsentris.

Namun demikian, orang bugis sudah terkenal memiliki kebudayaan, mereka memiliki tradisi lisan maupun tulisan. Bahkan orang bugis memiliki salah satu epos terbesar di dunia yang lebih panjang daripada epos Mahabarata yakni cerita tentang lagaligo yang sampai saat ini sering dibaca dan disalin ulang dan menjadi budaya yang mengakar pada masyarakat bugis.

Bagi suku-suku lain, orang Bugis sering dianggap sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat

menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu demi kehormatan, orang bugis bersedia melakukan kekerasan. Namun dibalik sifat itu semua, sebenarnya orang bugis adalah orang yang sangat ramah, menghargai orang lain dan menjunjung tinggi kesetiakawanan, bahkan bersedia menjadi bumper demi kesetiakawanan. (itulah mungkin sebabnya mengapa Golkar pada masa pemerintahan SBY-JK sering menjadi Bumper karena ia dipimpin oleh seorang yang sangat berwatak bugis).

Meskipun sebagai bangsa perantau, orang bugis selalu membawa identitas bugisnya di mana mana. Beberapa orang-orang di singapura dan Malaysia meskipun sudah menjadi warga Negara sana, dan mereka sudah bergaya hidup modern tapi mereka selalu mengaku sebagai orang Bugis meskpiun sudah merupakan keturunan yang kesekian dan belum pernah menginjak tanah bugis.

Begitu juga dengan saya, selama terjun ke dunia politik saya tidak pernah melepas karakter bugis saya yang blak-blakan, dan sering dianggap kurang santun bagi mereka yang sangat menghargai etiket. Tapi itulah saya, saya sering mengatakan kepada teman-teman, jangan paksa saya jadi orang jawa. Menjadi orang bugis dan berkarakter keras kadang berguna juga. Waktu menyelesaikan kasus ambalat untuk pertama kalinya, saat itu saya menggunakan gaya diplomasi ala Bugis yang anda tidak dapatkan dalam literature strategi diplomasi. Waktu itu saya ke Malaysia bertemu dengan Perdana Menteri yaitu Najib. Saat itu ia ditemani oleh 5 Menteri dan saya juga ditemani oleh 5 Menteri plus Dubes kita. Saat pertemuan itu

saya bilang ke Najib “ Najib…Ambalat itu masalah sensitive, itu bisa membuat kita perang. Kalau kita perang, belum tentu siapa yang menang. Tapi satu hal yang mesti you ingat, di Malaysia ini ada 1 juta orang Indonesia, 1000 orang saja saya ajari Bom, dan mereka Bom ini gedung-gedung di Malaysia maka habislah kalian”

Saat itu pak Najib kaget, dia sadar sebagai sesama Bugis, ancaman saya bukan hanya gertakan belaka. Dia bilang ke saya “pak Jusuf, tidak bisa begitu”

Saya bilang ke dia “makanya mari kita berunding, terus terang saya kadang tidak suka sama you punya Negara, Buruh-buruh Ilegal dari Indonesia ditangkapi kayak binatang, sedangkan majikannya tidak

ditangkap, padahal kalau ada buruh Ilegal maka tentu ada juga majikan illegal. Setiap ada Ilegal loging pasti orang Malaysia yang ambil, begitu ada kebakaran hutan mereka marah-marah, padahal hampir sepanjang tahun mereka menghirup udara segar yang dihasilkan oleh hutan-hutan di Indonesia, satu bulan saja ada kabut asap mereka marah marah. Dan juga setiap ada ledakan Bom di Indonesia selalu orang Malaysia dalangnya”

Waktu itu Pak Dubes langsung bisiki saya “Pak, Ini sepertinya sudah melewati batas diplomasi”

Saya langsung bilang ke dia “kau kan Dubes, yah sudah kau perbaikilah mana yang lewat”

Setelah itu, untuk menunjukkan ketidak sukaan saya kepada Malaysia saya menolak menginap di Kuala

Lumpur, saya bilang saya mau menginap di kampong Bugis di Johor sana. Akhirnya pak Najib ikut juga saya ke sana. Di atas mobil, dalam perjalanan menuju Johor Pak Najib Bilang ke saya “ Kayaknya bapak terlalu keras tadi waktu berunding”

Saya cuman bilang ke dia “kamu kan juga orang Bugis, kenapa kau tidak keras juga tadi?” mendengar itu dia cuman ketawa saja.

Malamnya di Johor, kita makan malam dan nyanyi-nyanyi, mengundang Siti Nurhaliza, sampai jam 1 malam dan kita ngantuk. Keesokan paginya kita main golf, dan saat itu juga masalah Ambalat selesai. Dengan gaya Diplomasi ala Bugis, saya tidak perlu memakai bahan yang sudah disiapkan oleh DEPLU semua spontanitas saja. Dan sampai sekarang kalau ada tentara Malaysia datang lagi di Ambalat, saya tinggal telpon Najib “Hey Najib, jangan lagi kau kirim, you punya tentara ke Ambalat, kita bisa perang nanti”

Demikan juga waktu saya menyuruh EXXON supaya angkat kaki dari Blok Natuna. Waktu itu saya dikejar oleh orang-orang EXXON mereka mau melobi. Tapi saya selalu menolak ketemu dan menghindar. Saya ke Riyadh, mereka mau nyusul ke sana, saya ke Jedah mereka mau datang, tapi saya tolak karena saya mau ibadah dan sampai di belahan bumi manapun mereka kejar saya. Akhirnya waktu itu Di Makassar karena melihat kegigihan mereka, saya suruh mereka datang. Dan datanglah itu Chairman Exxon mereka 4 oran

g dan saya hanya ditemani oleh Sekretaris saya.

Saat pertemuan di Hotel Sahid Makassar, orang Exxon bilang ke saya, “Mr.Vice President, anda kalau membatalkan kontrak dengan EXXON, maka besok akan saya SU”

Saya langsung pukul meja saya dan bilang ke dia “kalau kau berani SU, maka saya akan SU kau 10 kali, Its

my country, not your country, jangan kau datang ke sini mau ancam-ancam saya”.

Saat itu dia langsung minta maaf. Dan saat itu Blok Natuna kembali ke tangan kita pengelolaannya,

meskipun pada akhirnya lepas lagi ke EXXON karena wewenang saya dicabut dan control tidak lagi berada di tangan saya. Apa pun itu, untuk kehormatan bangsa, kita jangan mau didikte oleh bangsa lain, kalau mereka keras, maka kita balas lebih keras lagi. Jangan pernah takut kita akan dibuat susah dan macam-macam. Selama kita yakin Tuhan selalu bersama kita, maka bangsa lain tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap kita.
(Sumber: kompasiana.com)

Senin, 11 April 2011

BULLYING, THE PERSISTENT PROBLEM IN SCHOOL

Nowadays, we usually hear about some problems that occur at schools. One of the Persistent Problems, which occurs is bullying. Some people had bad experiences to be bullied when they had been young students. In this situation, when they had been being bullied, they had no courage and power to fight against the bully. After being bullied, most of the bullied students feel scared and guilty about letting their teacher and their parents know.
Before giving the solution of how to overcome bullying at school, we should find out some factors, which may create and support the students to do such action. If we interrogate the bullying students the reasons of why they engage with bullying, some of them will reply that “it was fun”, because they want to show their power to others and take advantage of the weak and younger students. Based on this statement, we can see the causes of bullying action.
As a matter of fact, every teenage student, particularly the boys are inclined to show their power to others so that they will be admitted as powerful boys, and this make them satisfied. If these powers are not addressed to a creative way, it will push them to look for other outlets like bullying. So we can understand that they do bullying because the environments around them such as school and home does not provide them with the means and chances to realize their feeling and their potential.
Every one must take part to overcome this persistent problem, because it has very negative effects on children’s future as it can leave scars throughout adulthood, imparing performance and preventing people achieving their potential. The Psychiatric hurt from bullying in childhood may also cause long term damage to both physical and mental health.
After mentioning some factors that cause bullying at school, we can formulate the solution to solve this problem. This problem requires good cooperation among students, teachers and parents. Firstly, Student must empower themselves to fight against the bully. Secondly, Teachers should take a pro-active approach, not a reactical one which will be too late. However, it must to be effectively implemented and not just gather dust on the self. Lastly, parents have to pay more attention to their children by hearing their fears and feelings by providing them with useful means for study and encouraging them to improve their potential.
(By. Syam)

Minggu, 10 April 2011

Pluralitas Penafsiran al-Qur’an


            Kalau kita perhatikan dan pelajari secara kritis tafsir-tafsir al-Qur’an yang ada saat ini ataupun pengajian-pengajian yang diberikan oleh para ustaz, maka tidak jarang kita temukan perbedaan pemahaman para penafsir atau ustadz-ustadz tersebut terhadap makna ayat-ayat al-Qur’an. Pertanyaannya kemudian penafsiran yang manakah yang paling benar? adakah metode yang dapat digunakan untuk memperoleh dan juga menilai penafsiran yang benar? mengapa ayat yang sama bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda bahkan kadang bertolak belakang? dan masih banyak lagi pertanyaan yang lainnya.

Dari Komunikasi Lisan ke Tulisan
     Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita perlu memahami esensi al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana diyakini oleh umat Islam di seluruh dunia, al-Qur’an merupakan firman-firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Firman-firman tersebut yang pada awalnya dikomunikasikan secara lisan kepada Nabi Muhammad, pada perkembangannya kemudian dibukukan dalam suatu mushhaf sehingga umat Islam dapat mengaksesnya dengan mudah. Akan tetapi, pentransformasian al-Qur’an dari komunikasi lisan ke dalam tulisan membawa berbagai macam konsekwensi lain, terutama di dalam usaha memahami dan menafsirkan al-Qur’an.
Di dalam beberapa tulisannya Paul Ricoeur (lahir 1913) menulis bahwa suatu diskursus yang telah ditetapkan dalam tulisan mengalami tiga macam proses distansiasi/pen-jarak-an (distanciation). Sebelum menjelaskan ketiga macam proses tersebut, Ricoeur terlebih dahulu membuktikan bahwa suatu teks adalah merupakan suatu diskursus dari komunikasi lisan yang telah dibentuk ke dalam tulisan (discourse fixed into writing). Akan tetapi Ricoeur melihat adanya perbedaan yang sangat menyolok antara komunikasi lisan dan tulisan. Pertama, berbeda dengan komunikasi lisan di mana si pembicara dan pendengar sama-sama berada antara satu dengan lainnya sehingga dapat menghasilkan suatu komunikasi dua arah, di dalam komunikasi tekstual sering terjadi di mana si pengarang tidak hidup dalam satu masa atau satu tempat yang sama dengan si pembaca sehingga komunikasi yang terjadi di antara keduanya adalah dialog satu arah (one way communication), yaitu komunikasi antara si pengarang dengan suatu teks atau si pembaca dengan teks.

Sabtu, 09 April 2011

Rujukan Aksara "Lontarak"

Muhammad Salim

Muhammad Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni ”lontarak”, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.
Kami bertemu di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, tempat Salim ”bekerja” yang tak memberinya honor empat tahun terakhir. Dengan semua itu, ia bersetia mengawal pendokumentasian lontarak dari seluruh penjuru Sulsel.
Lontarak adalah kehidupan Salim. Aktivitas menyalin lontarak ke huruf Latin (transliterasi) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (translasi) ibarat menu hariannya. Dalam sehari ia menghabiskan dua hingga tiga jam untuk menyalin lontarak, termasuk Lontarak Enrekang, proyek yang baru dia mulai.
Meski demikian, yang membuat nama Salim diperhitungkan hingga mancanegara tentulah Sureq Galigo. Dia terpilih dalam Proyek Transliterasi dan Terjemahan Sureq Galigo yang digagas Universitas Leiden, Belanda, tahun 1987. Ia mulai bekerja tahun 1988 dan membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan untuk menerjemahkan hikayat penciptaan peradaban manusia di Sulsel itu.
Naskah I La Galigo di Universitas Leiden memiliki tebal sekitar 6.000 halaman. Arung Pancana Toa-lah yang memberikan naskah ini kepada orang Belanda, BF Matthes. Naskah di Leiden termasuk kisah paling lengkap kendati belum sepenuhnya selesai. Sebenarnya masih banyak lontarak yang terserak dan belum ditemukan.
Tidak mudah menerjemahkan I La Galigo, karya sastra terpanjang yang berabad-abad ”tertidur”. Salim tak sekadar membaca teks, tetapi juga konteksnya. Galigo merupakan karya sastra yang khas dengan pola pengejaan lima-lima, seperti: i-la-ga-li-go dan sa-we-ri-ga-ding.
Melalui pergulatannya, Salim menemukan Sureq Galigo juga menggunakan bahasa Bugis klasik dan Sanskerta, contohnya pada Sangiangserri yang artinya Dewi Padi. ”Dalam Sanskerta, dikenal Sang Hyang Sri, yang juga Dewi Padi.”
Dalam penerjemahan, ia membutuhkan tiga kamus sekaligus, yakni bahasa Bugis-bahasa Belanda lama, bahasa Belanda lama-bahasa Melayu lama, dan bahasa Melayu lama-bahasa Indonesia.
Penerjemahan Galigo memang melelahkan. Ruang kerja di rumah panggungnya berupa bilik. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00 ia menekuni aksara kuno. Di sebelah meja kerja, ada kasur untuk Salim beristirahat sewaktu-waktu.
Honor transliterasi kala itu 5 dollar AS per lembar, sedangkan translasi 8 dollar AS per lembar. ”Uangnya saya pakai untuk beribadah haji. Saya tak suka beli barang,” tuturnya.
Mendunia
Nama Salim ikut mendunia bersama ”terbangunnya” I La Galigo. Mata dunia memandangnya seakan dia baru muncul. Padahal, jauh sebelumnya ia sudah tenggelam dalam dunia lontarak. Lahir dan besar di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Sulsel, ia terbiasa membaca lontarak.
Pada masa lalu masyarakat menuliskan kisah dalam aksara lontarak. Apa pun bisa diceritakan; ilmu perbintangan, hubungan suami-istri, silsilah keluarga, pantangan, doa-doa, hingga nyanyian. Salim kecil belajar membaca lontarak dari neneknya.
Kemampuan ini terasah saat ia masuk pesantren di Allakuang, Sidenreng Rappang (Sidrap). Dia bergurukan KH Muhammad Yafie dan Muhammad Abduh Pabbajah. Murid-murid di sini terbiasa menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Arab ke bahasa Bugis. Semuanya ditulis dalam huruf lontarak.
Seperti telah digariskan, hidup Salim tak pernah jauh dari lontarak. Lulus Sekolah Guru Bawah (SGB), ia mengajar pelajaran bahasa Bugis di satu-satunya sekolah menengah pertama di Pangkajene selama delapan tahun.
Berselang setahun, ia menempuh pendidikan guru sekolah lanjutan jurusan Bahasa Bugis di Makassar. Dia lalu ditarik ke kampung halaman, menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Sidrap pada 1971.
Dengan posisinya itu, Salim kian gencar memopulerkan lontarak bagi pelajar. Ia mendorong penerbitan buku cerita rakyat dalam huruf lontarak untuk tingkat sekolah dasar dan buku nyanyian untuk tingkat SMP. Satu buku cerita bisa ditukar dengan satu liter beras atau satu kelapa bagi keluarga yang tak punya uang.
Tahun 1980, saat menjadi staf Dinas Permuseuman, Sejarah, dan Kepurbakalaan Sulsel, ia berkesempatan menyelami naskah kuno. Ia lalu menggagas proyek pengumpulan lontarak. Ia menjelajahi seluruh kabupaten di Sulsel hingga Kabupaten Selayar ”berburu” lontarak.
Proyek ini bertujuan mendokumentasikan lontarak di Sulsel dan menerjemahkannya. ”Banyak sekali lontarak berisi pengetahuan yang bisa diterapkan sampai kini, seperti pengobatan dan pertanian,” ujarnya.
Dari perburuan itu, Salim mengumpulkan lebih dari 100 lontarak. Semua tersimpan rapi di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Beberapa lontarak sudah disalin ke huruf Latin dan sejumlah kecil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun, banyak yang tak diterbitkan karena kurangnya dana.
Harta karun sejarah ini lebih menarik minat peneliti asing. Bahkan I La Galigo pun diterjemahkan tanpa bantuan uang Pemerintah Indonesia.
Tanpa gelar
Salim menjadi rujukan siapa pun yang meneliti lontarak. Ia masih bersemangat bicara tentang lontarak.
Ia percaya, pengetahuan juga digembleng karena pengalaman. Dia bukan profesor, tetapi kefasihannya memaknai lontarak membuatnya bertemu para profesor asing. Mereka takjub melihat orang yang menghidupkan kembali epos Sawerigading adalah pria sederhana.
Dalam hati, Salim tetap merasa sebagai guru. Ia ingin menularkan ilmunya kepada banyak guru dan mahasiswa. Untuk itu dia mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Dia juga bertahan di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Padahal. bisa dikatakan yayasan ini bangkrut, tak ada uang dan peneliti. Beberapa buku penting terkait sejarah di kawasan timur Indonesia diambil alih Arsip Nasional.
Yang tersisa dari yayasan adalah lontarak, pekerja berhonor kecil, dan Salim. Kendati demikian, yayasan ini telah menjadi ”rumah” bagi Salim yang setia dengan Vespa tuanya. Hanya bila hujan deras saja dia urung datang. ”Khawatir Vespa-nya mogok,” kata pria bercucu tujuh dan bercicit satu ini.
Warisan Salim ialah penerjemahan I La Galigo, dan dunia patut berterima kasih kepadanya.

*** 
Muhammad Salim
• Lahir: Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1936 
• Istri: Hj Djamiah (65) 
• Anak:  - Husnah Salim - Nurdinah Salim  - Hamdan Salim 
• Kegiatan: - Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin - Peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan 
• Lontarak yang disalin dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia antara lain: - Sureq Galigo  - Lontarak Sidenreng - Lontarak Soppeng/Luwu - Budhistihara yang berisi nasihat keagamaan - Pappaseng - Lontarak Enrekang (dalam pengerjaan) 

(Sumber:  kompas.com)

Kamis, 07 April 2011

8 Pilar Penyangga Perkawinan

Coolman Deds
 Di masa pacaran, boleh jadi cinta memang sejuta rasanya. Namun ketika memasuki perkawinan, modal cinta saja tak cukup untuk mempertahankan kelangsungan sebuah keluarga.
Dalam mencari pasangan hidup, budaya Jawa mengenal sejumlah kriteria yang dikenal dengan istilah bobot, bibit, bebet. Namun pada kenyataannya, banyak orang beranggapan salah satunya saja sudah cukup memenuhi kriteria pasangan hidup. "Cari pasangan ya lihat pribadinya, dong! Punya mobil pribadi, rumah pribadi, dan kalau perlu vila pribadi!" ujar seorang perempuan tanpa maksud bergurau. "Kalau menurut saya sih, yang penting harus punya tanggung jawab," sela seorang teman bicaranya. "Yang paling penting, ya, cinta, dong!" yang lain menyergah tak kalah semangat.
Sebetulnya apa saja, sih, pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan sebuah perkawinan? Benarkah cinta bisa diandalkan? Sepenuhnya ditentukan oleh kelimpahan materi? Bagaimana soal komitmen dan tanggung jawab? Seberapa penting aspek kepribadian kedua belah pihak? Bagaimana dengan hal-hal lain, bisakah diabaikan?
"Proses menimbang-nimbang memang seharusnya sudah dimulai sebelum suami-istri memasuki gerbang pernikahan," kata Titi P. Natalia, M.Psi. Meski ia tak menyangkal banyak pasangan yang tidak "sempat" melewati proses seleksi. Meminjam istilah anak zaman sekarang, ada tahapan yang mesti dilalui, yakni koleksi, seleksi, baru resepsi.
Akan tetapi, Titi mengingatkan agar kita tidak perlu lagi menoleh ke belakang hanya untuk mempertanyakan apakah tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui atau belum. "Sebaiknya lihat saja ke depan. Komitmen dan kesungguhan suami istrilah yang paling dibutuhkan begitu janur kuning sudah dipasang melengkung," tandasnya.
“Dalam mencari calon istri atau suami untuk menuju atau memasuki pernikahan maka yang perlu diingat jangan pernah mencari pasangan untuk menemukan yang cocok karena itu akan menyebabkan suatu ketika bisa tidak cocok tapi carilah pasangan untuk saling mencocokan sehingga pernikahan kita dapat kuat” demikian kata Donald F.R Sendow,M.Div tentang mencari pasangan hidup.
8 Pilar Yang Dibutuhkan
Pilar-pilar yang dibutuhkan demi kokohnya sebuah pernikahan memang tidak sedikit. Berikut di antaranya:
1. Latar belakang keluarga.
Tak bisa dipungkiri, latar belakang keluarga kedua belah pihak pastilah memegang peran penting. Yang termasuk di sini antara lain suku, bangsa, ras, agama, sosial, kondisi ekonomi, pola hidup dan sebagainya. Namun bukan berarti pasangan dengan latar belakang yang sangat berbeda dan bertolak belakang tidak mungkin bersatu. Hanya saja mereka mesti lebih siap dituntut berupaya lebih keras dalam proses penyesuaian diri.
2. Kesetaraan
Kesetaraan akan mempermudah suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Adanya kesetaraan dalam banyak hal dapat meminimalkan friksi yang mungkin timbul. Kesetaraan ini antara lain meliputi kesetaraan pendidikan, pola pikir dan keimanan.
3. Karakteristik Individu
Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan ini menjadi salah satu pilar yang menentukan langgeng tidaknya sebuah rumah tangga. Individu dengan karakter sulit yang bertemu dengan individu yang juga berkarakter sulit, tentu lebih berat dalam mempertahankan pernikahannya. Sebaliknya, yang berkarakter sulit bila bertemu dengan pasangan yang berkarakter mudah, tentu proses penyesuaian yang harus dijalaninya bakal lebih mulus.
4. Cinta
Jangan anggap sepele kata yang satu ini. Walaupun tidak berwujud, cinta dapat dirasakan. Pernikahan tanpa cinta bisa dibilang ibarat sayur tanpa garam, serba hambar dan dingin. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang mencakup makna melindungi, memiliki tanggung jawab, memberi rasa aman pada pasangan dan sebagainya.
Ada yang bilang, setelah sekian tahun menikah cinta biasanya akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Sementara yang tersisa tinggal tanggung jawab. Benarkah? "Tidak harus seperti itu karena cinta bisa dipupuk supaya terus subur. Apalagi menjalani tanggung jawab akan terasa lebih ringan kalau ada cinta di dalamnya," ujar Titi. Meski tentu saja, mempertahankan rumah tangga tidak cukup bermodalkan cinta semata!
5. Kematangan dan Motivasi
Kematangan suami/istri memang ditentukan oleh faktor usia ketika menikah. Mereka yang menikah terlalu muda secara psikologis belum matang dan ini akan berpengaruh pada motivasinya dalam mempertahankan biduk rumah tangga. Namun usia tidak identik dengan kematangan seseorang karena bisa saja orang yang sudah cukup umur tetap kurang memperlihatkan kematangan.
6. Pengertian dan Kebijaksanaan
Semakin dewasa dan lama, perkawinan akan memasuki fase atau level pemahaman yang disebut pengertian. Yaitu proses memahami ketika pasangan kita justru sulit dimengerti. Kejikasanaan memahami apa yang sulit dimengerti menjadi pilar yang kuat menopang perkawinan kita.
7. Penerimaan
Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa kita dan pasangan kita memang berbeda dan mampu menerima perbedaan itu sebagai seni dalam pernikahan merupakan pilar yang juga penting dalam perkawinan.
8. Partnership
Partnership alias semangat bekerja sama di antara suami dan istri. Tanpa adanya partnership, umumnya rumah tangga mudah goyah. Selain itu perlu "persahabatan" yang bisa dirasakan keduanya. Coba bayangkan, alangkah nikmatnya bila masalah apa pun yang menghadang senantiasa dihadapi bersama dengan seorang sahabat.
Bila Terjadi Kepincangan
Idealnya, menurut Titi, semua pilar tersebut sama-sama ikut menyangga bangunan rumah tangga agar segala sesuatunya menjadi lebih kokoh dan kuat. Namun dalam realitas sering terdapat kepincangan di sana-sini, entah dalam hal motivasi, kesetaraan dan sebagainya. Kalau hal seperti ini yang terjadi, apa yang harus dilakukan?
"Semua terpulang pada tujuan pernikahan itu sendiri. Kalau memang tujuan mereka jelas dan motivasi suami maupun istri kuat, tentu akan ada ´usaha´ dari kedua belah pihak untuk menyelaraskan semuanya," jawab psikolog yang antara lain berpraktik di Empati Development Center. Keduanya akan bersedia menerima pasangannya, apa pun adanya. "Tapi ingat, menerima di sini bukan berarti pasrah begitu saja lo, melainkan harus ada penyesuaian di sana-sini yang bisa diterima bersama."
Mengarungi biduk perkawinan tanpa masalah memang mustahil karena friksi-friksi sangat mungkin muncul kapan saja dan mencakup aspek apa saja. "Namun sekali lagi kembali pada usaha suami dan istri untuk mempersepsikan perbedaan yang ada. Apakah perbedaan itu akan dibesar-besarkan atau dicarikan jalan keluarnya."
Saat menentukan pilihan mungkin saja calon suami/istri adalah yang terbaik. Namun dalam perjalanan hidup perkawinan mereka, di mata istri atau suami, ternyata pasangannya bukan lagi yang terbaik. Lo, kok bisa begitu? "Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Selalu saja ada perubahan. Oleh karena itulah dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak untuk terus-menerus menyesuaikan diri."
Singkatnya, walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah tangga, tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan. Namun setidaknya dengan adanya pilar-pilar kokoh tadi, suami dan istri akan dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Coolman Deds
sumber: http://kolomkita.detik.com

Senin, 04 April 2011

7 Konsep Hubungan Pernikahan yang Sehat

Jangan anggap pernikahan akan selalu dalam masa-masa bahagia. Pertengkaran dan masa-masa sulit pasti akan menghampiri kehidupan pernikahan Anda.

Agar kelangsungan hubungan suami-istri tetap berjalan penuh cinta, ikuti konsep pernikahan berikut ini untuk menjadikan pernikahan yang sehat.

Mendengarkan
Sediakan waktu untuk mendengarkan pasangan. Mendengar adalah seni dan butuh latihan serta komitmen agar Anda bisa menjadi pendengar yang baik.

Jangan egois
Jangan selalu membawa keyakinan Anda dan merasa tidak mungkin melakukan kesalahan. Sikap egois akan merenggangkan ikatan Anda dan pasangan.

Jangan gampang untuk mengucapkan perceraian
Jangan pernah Anda mengancam untuk meninggalkan rumah atau bercerai. Apalagi jika Anda sendiri tak yakin dengan keinginan itu. Sekali tercetus, tak mungkin bisa dihapus meskipun Anda menyesal setengah mati karena telanjur melontarkannya.

Meski emosi sudah tidak terbendung lagi, hindari mengancam minta bercerai. Anda mungkin bakal tertawa senang jika si dia memohon-mohon agar Anda sudi menarik kembali ucapan itu. Tapi bagaimana jika sebaliknya? Anda bakal gigit jari.

Minta maaf
Jangan gengsi untuk meminta maaf. Segeralah mengakui kesalahan dan minta maaflah dengan tulus. Cara ini dapat dengan mudah meredakan pertengkaran dan memperkuat ikatan cinta.

Menghargai perbedaan
Jangan berharap si dia juga memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan yang Anda yakini. Hormati saja perbedaan-perbedaan itu. Cintai si dia tanpa syarat.

Memuji
Berikan pujian kepada pasangan untuk semakin memotivasinya. Pria sangat senang apabila usaha dan pencapaiannya dihargai dan dipuji oleh orang yang dicintainya.

Selesaikan masalah segera
Hindari berangkat tidur dalam kondisi amarah masih bergemuruh di dada. Minimal, lakukan gencatan senjata dulu sampai Anda berdua bisa berpikir lebih jernih. Ingat, mempertahankan pernikahan Anda jauh lebih berarti daripada tetap memelihara konflik.

(sumber http://www.wolipop.com)