Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Rabu, 16 Maret 2011

Sekularisme versus Fundamentalisme

Oleh: Komaruddin Hidayat

MASYARAKAT pendukung paham sekularisme di Barat mulai khawatir akan terdesak oleh kekuatan fundamentalisme agama yang jumlah populasinya kian berkembang dari tahun ke tahun, baik di lingkungan Yahudi, Kristen, maupun Islam.

Pernyataan di atas dikemukakan Eric Kaufmann dalam buku Shall the Religious Inherit the Earth? (London, 2010). Kaufmann menganalisis hubungan antara kependudukan dan politik pada abad-21, yang menurutnya perkembangan penduduk di lingkungan komunitas pendukung paham fundamentalisme agama jauh lebih tinggi ketimbang masyarakat sekuler. Jika tren ini berjalan terus, sebelum 2050 kekuatan agama akan mendominasi percaturan politik dunia.

Secara ideologis-intelektual paham ateisme-sekularisme memperoleh bintang-bintang baru, seperti Richard Dawkin, Christopher Hitchens, Sam Haris, dan Daniel Denett, dengan karya-karyanya yang serius menyerang fondasi teologi agama-agama besar dunia. Buku mereka cukup laku keras di pasaran sebagai serangan balik terhadap kebangkitan fundamentalisme agama yang dianggap emosional dan menggerogoti pilar sekularisme yang menjadi karakter masyarakat Barat modern.

”Kita memasuki abad ideologi yang berakar pada keimanan, yang berseberangan dengan kebudayaan ilmiah yang dialogis dan rasional,” kata Kauffmann. Di tengah dua arus yang menguat ini, mereka yang berpaham moderat didorong untuk berpihak ke salah satu kubu. ”Moderate faith is being squeezed by both secularism and fundamentalism,” tulisnya. Kebangkitan agama di panggung politik ditandai oleh kehadiran Ayatullah Khomeini dari pengasingan ke Iran pada 1979.

Lalu pada 1981 terjadi penembakan terhadap Anwar Sadat di Mesir oleh pengikut aliran keras. Sejak dekade 1980-an Pantekosta berkembang pesat di Amerika Latin, Afrika, dan Asia sehingga menjadi komunitas terbesar setelah Protestan dan Katolik di tingkat global. Di Amerika Serikat anak-anak muda dari komunitas Yahudi Ortodoks mengkritik generasi tuanya yang mereka anggap lembek. Mereka kini tampil lebih militan.

Etnisitas ke Keagamaan
Terdapat hubungan signifikan antara jumlah penduduk, sentimen etnis, agama, dan peran politik dalam sebuah negara. Semakin maju tingkat pendidikan dan ekonomi sebuah bangsa, fertilitas penduduk cenderung menurun. Sebaliknya, pertambahan populasi masyarakat miskin dan kurang pendidikan berkembang cepat. Pertambahan penduduk ini juga berkaitan dengan paham keagamaan dan ideologi. Di Eropa imigran muslim yang datang dari dunia Islam semakin tinggi populasinya, sedangkan tingkat pendidikan dan ekonomi tergolong rendah dibanding masyarakat setempat.

Perkembangan penduduk ini sekaligus dianggap memberi tambahan amunisi bagi perkembangan gerakan fundamentalisme agama di benua itu. Persaingan jumlah populasi Protestan dan Katolik di Irlandia Utara juga selalu menimbulkan ketegangan politik. Begitu pun di Lebanon, Irak, dan Bahrain terjadi ketegangan politik dan ekonomi yang ditimbulkan oleh imigran dan konflik antara penduduk penganut Syiah dan Sunni.

Jadi, apa yang populer dengan sebutan ethno-religion kelihatannya semakin menguat di berbagai belahan bumi seiring laju migrasi penduduk lintas negara yang semakin terbuka peluangnya. Di Indonesia, faktor migrasi bangsa Arab dan China beberapa abad lalu sangat nyata pengaruhnya terhadap perkembangan agama, ekonomi dan politik di wilayah Nusantara ini. Belum lama ini Kong Hu Cu sudah resmi dinyatakan sebagai agama resmi sehingga keberagamaan di Indonesia kian warna-warni.

Kenyataan di atas mengisyaratkan satu hal, terdapat korelasi signifikan antara identitas etnis dan agama serta dinamika politik. Kekuatan dan kelanggengan sebuah tradisi agama mengasumsikan dukungan jumlah komunitas pendukungnya. Semakin banyak warga pendukungnya semakin kokoh sebuah tradisi agama.Dengan demikian sesungguhnya keberagamaan seseorang sangat dipengaruhi oleh keluarga dan tradisi tempat seseorang dilahirkan dan tumbuh, bukan hasil sebuah pilihan bebas.

Sekadar contoh, kalau orang menyebut warga Aceh, Manado, Bali, Sunda, misalnya, tanpa disadari pasti punya asosiasi keberagamaan tertentu. Pluralitas etnis dan agama ini akan menjadi problem ketika muncul tren yang berseberangan, antara pendukung paham sekularisme-liberalisme dan fundamentalisme-skripturalisme dalam melihat tradisi agama. Konflik ideologis semakin sulit diredam kalau negara yang mestinya melindungi warganya tidak jelas dan tegas menegakkan hukum untuk melindungi warganya, bahkan kalah oleh desakan massa. Indonesia sebagai negara hukum, mestinya konstitusi dan hukum menjadi acuan dalam menyelesaikan berbagai sengketa.(*)

Senin, 14 Maret 2011

Tokoh Islam yang Berperan Besar dalam Matematika

Rekayasa mekanika melambungkan nama Banu Musa di khazanah sains Islam. Melalui kemampuannya, Banu Musa menciptakan berbagai peralatan mesin yang terbilang pada masanya. Namun, sebenarnya bukan itu saja prestasinya. Banu Musa menoreh kan prestasi gemilang di ranah matematika.

Kepakaran Banu Musa dalam matematika bahkan layak disejajarkan dengan sejumlah tokoh besar lainnya, seperti al-Khawarizmi (780-846 Masehi), al-Kindi (801-873), atau Umar Khayam (1048-1131). Matematika dijadikan pijakan bagi Banu Musa untuk menopang kemampuanya di bidang teknik.

Perlu diketahui, Banu Musa, atau keluarga Mu sa, terdiri dari tiga bersaudara: Jafar Mu hammad bin Musa bin Shakir, Ahmad bin Musa bin Shakir, dan al-Hasan bin Musa bin Shakir. Ketiganya merupakan putra dari seorang cendekiawan terkemuka abad ke-8, yakni Musa bin Shakir.

Banu Musa ikut andil dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Bahkan, Banu Musa termasuk saintis Muslim pertama yang mengembangkan bidang ilmu hitung di dunia Islam melalui transfer pengetahuan dari peradaban Yunani. Lalu, Banu Musa membangun konsep dan teori baru, khususnya pada lingkup geometri. Dari tiga saudara tadi, adalah si sulung Jafar Muhammad yang berada di baris depan dalam kajian geometri. Selanjutnya diikuti oleh al-Hasan.

Sementara itu, Ahmad bin Musa membawa konsep matematika kepada aspek mekanika. Mereka terus bekerja bersama-sama hingga mencapai hasil yang sempurna. Banu Musa sangat tertarik dengan manuskrip ilmiah dari Yunani. Salah satunya berjudul Conics. Keseluruhan karya Appollonius ini terdiri dari delapan jilid. Diungkapkan Jere L Bacharach dalam Medieval Islamic Civilization, topik utama dari naskah tersebut membahas tentang geometri.

Banu Musa meminta bantuan dua sarjana terkemuka, yaitu Hilal bin Abi Halal al-Himsi dan Thabit bin Qurra, untuk menerjemahkan karya itu ke dalam bahasa Arab. Dalam buku MacTutor History of Mathematics, sejarawan sains John O’Connor dan Edmund F Robertson menyebut Banu Musa sebagai salah satu peletak dasar bidang geometri.

Banu Musa berhasil menghubungkan konsep geometri dari matematika Yunani ke dalam khazanah keilmuan Islam sepanjang abad pertengah an. Di kemudian hari, Banu Musa menyusun risalah penting tentang geometri, yakni Kitab Marifat Masakhat al-Ashkal. Kitab tersebut sangat terkenal di Barat. Menyusul penerjemahannya ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 oleh Gerard of Cremona dengan judul Libertrium Fratum de Geometria.

Menurut O’Connor dan Robertson, terdapat beberapa kesamaan metodologi dan konsep geometri dari Banu Musa dengan yang diusung Apollonius. Namun, keduanya menegaskan pula bahwa banyak pula perbedaan yang muncul. Sebab, Banu Musa melakukan perbaikan dan membangun rumusrumus baru yang terbukti sangat efektif. Lebih jauh, Banu Musa menyempurnakan metode persamaan yang dirintis Eudoxus dan Archimedes.

Pakar matematika Muslim itu menambahkan rumus poligon dengan dua bidang sama luas. Sebelum diteruskan oleh Banu Musa, metode ini tidak banyak mendapat perhatian dan nyaris hilang dimakan zaman. Di sisi lain, Banu Musa membangun pola lebih maju terkait penghitung an luas serta volume yang mampu dijabarkan lewat angka-angka.

O’Connor dan Robertson mengungkapkan, penggunaan sistem angka merupakan keunggulan dari metode geo metri awal warisan peradaban Islam. Hal lain diungkapkan oleh Shirali Kadyrov melalui tulisannya Muslim Contributions to Mathematics.

Menurut dia, Banu Musa juga menje laskan mengenai angka konstan phi. Ini adalah besaran dari hasil pembagian diameter lingkaran. Banu Musa mengatakan, konsep ini pernah dipakai Archimedes. Namun, pada saat itu pemikiran Archimedes dinilai masih kurang sempurna. Sezgin, seorang ahli matematika Barat, menganggap bukti temuan Banu Musa merupakan fondasi kajian geometri pada masa berikutnya.

Hal serupa disampaikan Roshidi Rashed dalam History of a Great Number. Di samping itu, mereka menciptakan pemecahan geometri dasar untuk menghitung luas volume. Laman isesco.org menyatakan, sumbangan Banu Musa yang lain yakni ketika menemukan metode dan praktik geometri yang ringkas serta mudah diaplikasikan.

Dalam membentuk lingkaran, misalnya, bisa dikerjakan dengan memakai besi siku atau jangka. Masing-masing ujung besi siku itu diletakkan di titik berbeda. Kemudian diambil sudut tertentu. Ambil salah satu ujung sebagai tumpuan dan ujung lainnya diputar melingkar. Maka dihasilkan sebuah lingkaran sempurna.

Berdasarkan pengamatan Victor J Katz dan Annete Imhausen pada The Mathematics of Egypt, Mesopotamia, China, India and Islam, kajian geometri mencapai tahap tertinggi melalui pemikiran dan karya Banu Musa. Inti gagasan mencakup sejumlah operasi penghitungan kubus, lingkaran, volume, kerucut, dan sudut.

Selain Kitab Marifat, Muhammad bin Musa menulis beberapa karya geometri yang penting. Salah satunya menguraikan tentang ukuran ruang, pembagian sudut, serta perhitungan proporsional. Hal ini terutama digunakan untuk menghitung pembagian tunggal antara dua nilai tertentu. Sedangkan, al-Hasan mengerjakan penelitian untuk menjabarkan sifat-sifat geometris dari elips. (Sumber Republika)