Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Senin, 26 April 2010

تفسير القرآن فى اللغة البوقيسية: رسم الميثودولوجي وفكرة التفسير لـ أ.غ. الحاج داود اسماعيل.

ملخص البحث

سليمان ابراهيم

كانت النتيجة من هذه الأطروحة تدل على ان فكرة منهج التفسير التى بناها داود اسماعيل اتبعت على فكرة منهج المفسر السابق. وكان هذا التفسير المنير من اسلوب تفسيره تابعا للتفسير بالمأثور، ولكن كان فيها أيضا عنصر التفسير بالرأي. بلا ريب فى تفسير داود اسماعيل كان التفسير بالمأثور قد يتواجه بالتفسير بالرأي متواجهين. اذا كان التفسير بالمأثور يفضل على نفل الرواية، فالعكس كان التفسير بالرأي مائلا الى ان يعتمد على العقل والمنطق. قد سمى محمد الفاضل ابن عشور على هذا المنهج بالتفسير الاثري النظري او النقدي.

وكانت هذه الأطروحة تدل على ان النموذج الذى استعمله داود اسماعيل هو النموذج المصحفى، الذى يفسر ثلاثين جزءا من القرآن (من سورة الفاتحة الى سورة الناس). وقد يرى هذا من نظامه الخاص فى تفسير القرآن؛ (1) بيّن السورة وآياتها. بدأ داود اسماعيل تفسيره بان يبين ان تلك السورة مكية أو مدنية؛ او كان بعضها مكيا وبعض مدنيا؛ (2) وذكر ترتيب السورة وجملة الآيات فى أول بحثه. كل التفسير من أية او آيتين أو آيات من القرآن قد يركب بتلك الكيفية الى ان يعطى المعنى الموحد، او قد تحسب تلك الآيات بالجماعة الواحدة؛ (3) وكتبت آيات القرآن متجاورا بترجمتها؛ (4) وبيّن المفردات؛ (5) وبيّن معنى الآيات بعامة؛ (6) وبيّن أسباب النـزول من الآيات اذا ملكتها؛ (7) وترك المصطلاحات تتعلق بالعلم التى تحسب ان تعوق على القرّاء فى فهم محتويات القرآن؛ (8) أسلوب اللغة؛ (9) كانت فى أخير كل جزء محتويات البحث. وقصد بهذا للتسهيل فى طلب الأية وبيانها.

إن هذه النتائج قد تقوّي على وجود منهج التفسير الأثري النظري أو النقدي الذى قد وجده محمد الفاضل ابن عشور فى كتابه "التفسير ورجاله" (مصرى: مجمع البحوث الاسلامية: 1970)، وقد طبّقه عمليا عبد القادر محمد صالح فى كتابه "التفسير والمفسرون فى العصر الحديث" (بيروت: دار المعرفة: 2003)، ومع ذلك تقوّى على نظر رافعى يونوس مارتان فى “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas: Tafsir al-Qur’an Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail, (Jakarta: Jurnal PSQ, 2006).). وفى الاقل كان داود اسماعيل قد استخدم على ما يسمى فى نظام الكتابة الحديثة بالمرجع المتقاطع (cross-reference) الذى قد ييسّر للقرآء فى فهم عدد من الآيات.

كانت هذه الدراسة دراسة نوعيّة (qualitative research) باستخدام الطريقة التفسيرية. وأما المصدر الرئيسي فى هذه الاطروحة هو كتاب التفسير المنير لداود اسماعيل. لنيل مظهر ميثودولوجيه، فيستعمل فيها كتب من علوم القرآن والتفسير، قديما كان او حديثا. وكانت بيانتها قد قرأت بمعيار علوم التفسير الذى يحتوى على المنهج ومحتوي التفسير. وأما فهم محتوي التفسير من طريق نظرية تحليل الحديث (discourse analysis)، ولتحليل البيانات الموجودة فيساعد بالطريقة التفسيرية. واستكشاف هذا التفسير قد يركّز فى فكرة التفسير فى مجال علم اللاهوت والشريعة او الحكم والاجتماعية، بالعلة لان ذلك ما ذكره داود اسماعيل كثيرا فى تفسيره، ولان تكون النتائج المحصولة متنوّعة وقرينية.

The Qur’anic Exegesis in Bugis Language: Tracing Methodology and Thought of AG. H. Daud Ismail’s Interpretation


Oleh: Sulaiman Ibrahim

ABSTRACT
From research result of this dissertation indicates that construct of interpretation methodology built by Daud Ismail was still follow the construct of his predecessor’s interpretation methodology. Seen from its interpretation form, this Tafsîr al-Munîr was the follower of Tafsîr bi al-Ma’tsûr, but not denied that the element of tafsîr bi al-ra’y also exist in it. It is true, in Daud Ismail’s interpretation, sometimes tafsîr bi al-Ma’tsûr was confronted with tafsir bi al-ra’y. If tafsîr bi al-ma’tsûr was more relied on historical quotation, on the contrary tafsîr bi al-ra’y tends to relied on mind and logic. This kind of Interpretation method was called by Muhammad al-Fadhil bin ‘Asyur as tafsîr al-atsarî al-nazharî or naqdî.
This dissertation indicates that the pattern has been used by Daud Ismail was mushhafî, interpreting the Qur’an of 30 sections (from Sura al-Fatihah to al-Nas). It is can be seen from his systematic way in interpreting al-Qur’an; (1) Explaining the sura and verse. First, Daud Ismail interprets by explaining whether the sura was makkiy or madaniy, or some of its verses were makkiy and others were madaniy; (2) Mentioning the sura’s order and amount of the verses in the beginning of its discussion. Every interpretations of one verse, two verses, or some verses of al-Qur’an were compiled in such a manner so give the union meaning, or the verses were assumed as one group; (3) The verses of Qur’an were written border on its translation; (4) Explaining vocabulary; (5) Explaining the verses meaning globally; (6) Explaining the revelation causes of the verses (asbab al-nuzûl), if they have; (7) Leaving the terms related to science that assumed can impede the readers in understanding the contents of Qur’an; (8) Language style; (9) At the end of every section was made a table of contents. It was aimed to be easier in its searching of verses and explanation.
These findings strengthen the existence of tafsîr al-atsari al-nazharî or naqdî method that found by Muhammad al-Fadhil bin Asyur in his book, Al-Tafsîr wa Rijâluhu, (Mishr: Majma’ a-Buhuts al-Islamiyyah, 1970), that practiced by ‘Abd al-Qadir Muhammad Shalih in his book, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fi al-‘Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2003), and also strengthen the view of Rafii Yunus Martan in “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas: Tafsir al-Qur’an Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail,” (Jakarta: Journal PSQ, 2006). At least, Daud Ismail has used what known in modern-writing system as cross-reference that can facilitate to all reader in comprehending various verses.
This research was qualitative research by using interpretation approach. The main source of this dissertation was Daud Ismail’s Tafsîr al-Munîr. In the gaining of its methodologies aspect, so used some books of ulûm al-Qur'an and interpretation, both of classic or modern. The data read with standard-interpretation science was including interpretation method and content. Understanding of the interpretation content was through the discourse analysis theory, and for analyzing the existing data was supported by interpretation approach. In exploring the interpretation was focused on interpretation thought in the field of theology, syari’ or law and social community, by reason that it was more touched by Daud Ismail in his interpretation, and in order to the obtained-result can be more varied and contextual.

PLURALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Salah satu fakta yang tidak dapat kita pungkiri dalam kehidupan sosial adalah adanya keragaman agama yang dianut oleh masyarakat. Keragaman itu disatu sisi memang memperkaya dan menjadikan kehidupan sosial masyarakat penuh dinamika, namun di sisi lain ternyata keragaman ini membawa potensi konflik yang cukup serius, yakni konflik antar umat beragama. Orang menjadi tega membunuh, menyakiti bahkan memperkosa hanya karena alasan beda agama. Kasus di Ambon menjadi contoh yang baik bagi kita bagaimana agama ternyata tidak hanya menjadi pengkontrol moral dan mengarahkan manusia menjadi lebih beradab, tetapi agama dapat dengan mudah dimanipulasi sedemikian rupa untuk menjustifikasi kekerasan atas nama klaim kebenaran agama. Suatu kelompok merasa bahwa hanya dirinyalah yang paling benar sedangkan yang lain salah, tersesat ahli bid’ah dan seterusnya yang membuat mereka mengahalalkan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi terhadap kelompok lain. Hal ini memang nampaknya menjadi sebuah paradoks dari kehadiran agama didunia ini, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan dan menganjurkan dehumanisasi tetapi mengapa banyak kekerasan justru disebabkan karena agama atau lebih tepatnya agama ketika berhadapan dengan pluralitas keberagamaan masyarakat.

Bagaiman pluralitas ini dalam pandangan Islam?. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah telah menciptaan manusia dengan beragam suku dan bangsa supaya dapat saling mengenal (wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal QS. Al Hujurat ayat 12), dan salah satu keragaman tersebut adalah keragaman umat beragama (bagi tiap umat di antara kai, Kami (Allah) telah buatkan peraturan dan jalan, kalau sekiranya tuhan menghendaki maka tentu kami menjadikannya umat yang tunggalm tetapi Dia hendak menguji kamu berkenaan dengan hal-hal yang diberikan kepadamu QS. Al maidah ayat 48) jadi dapat dikatan bahwa walaupun asalnya manusia itu dulunya bersatu (manusia dahulu adalah umat yang satu kemudian mereka saling berselisih pendapat QS. Yunus ayat 19) tetapi tuhan dengan kebijaksanannya sengaja membuatnya beraga dengan hikmah-hikmah terterntu. Maka dapat dikatakan bahwa keragaman ini merupakan merupakan salah satu dari sunnatullah yang tetap dan tidak berubah-ubah (Tidakkah mereka memperhatikan sunnah pada orang-orang terdahulu? maka engkau tidak akan menemukan dalam sunnatullah suatu perubahan, dan engkau tidak kan menemkan dalam sunnatullah suatu peralihan QS. Ayat fathir 43). Karena sifatnya yang prinsipil ini maka tugas kita bukanlah untuk menyatukan keragaman tersebut, tetapi bagaimana menyikapinya dengan tindakan-tindakan positif.

Masalahnya adalah manusia cenderung membanggakan apa yang ia yakini dan percayai sebagai yang paling baik. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surat ayat (dan tiap-tiap mereka merasa bangga terhadap apa yang mereka yakini). Diayat lain Allah mencontohan sikap bangga dan saling menafikan tersebut dalam klaim agama Yahudi atas orang Nasrani dan sebaliknya, klaim yang sebenarnya sangat potensial sekali dimiliki oleh setiap kaum beragama apapun (Dan orang-orang yahudi berkata orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai pegangan dan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa orang-orang Yahudi tidak mempunyai pegangan , padahal mereka sama-sama memilki pegangan (kitab) demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui mengatakan seperti ucapan mereka (kaum yahudi dan nasrani) itu QS. Al Baqoroh ayat 113).

Sebagai agama yang secara prinsipil menyatakan diri sebagai bagian integral dari agama-agama sebelumnya (Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya dan (sebagaimana) telah kami wahyukan keada Ibrahim, ismail, ishaq, ya’qub dan anak cucunya, serta kepada isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, QS. Al Baqoroh ayat 163). Islam memberikan beberapa prinsip dasar dalam menyikapi dan memahami pruralisme ini. Pertama prinsip keberagamaan yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah /inklusfisme relatif). Salah satu masaah yang serius dalam menyikapi keberagamaan adalah masalah klaim kebenaran. Islam sangat tidak membenarkan adanya kefantikan buta yang membelenggu umat islam dalam mencari kebenaran dan terlepas dari ikatan ketuhanan ( Dan janganah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pandangan, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya QS. Al Isra’ ayat 17). Padahal untuk mencapai kepasrahan yang tulus kepada tuhan (makna generik dari kata islam) diperlukan suatu pemahaman yang sadar dan bukan hanya ikut-ikutan. Oleh sebab itu sikap kelapangan dalam mencapai kebenaran ini bisa dikatakan sebagai makna terdalam keislaman itu sendiri. Diceritakan dalam hadist nabi bersabda kepada sahabat Utsman bin Mazhun “ Dan sesungguhnya sebaik-baik agama disisi Allah adalah semangat pencarian kebenaran yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah) “. Dengan memiliki sikap inklusif ini kita juga akan dapat menghargai pruralitas keberagaman dengan elegan, kita tidak jatuh pada kalim-klaim kebenaran yang sebenanya merupakan kesombongan intelektual kita dihadapan manusia yang kita anggap tidak mampu mencapai kebenaran dari tuhan.

Prinsip kedua adalah keadilan yang obyektif. Kata keadilan banyak sekali disebutan oleh Allah dalam Al Qur’an sebagai sikap yang harus dimiliki oleh umat islam. Dalam konteks pluralisme, Keadilan mencakup pandangan maupun tindakan kita terhadap pemeluk agama lain. Seringkali kita membuat generalisasi terhadap suatu pemeluk agama, hanya karena kita melihat dan menyaksikan bebrapa orang melukaksn hal-hal yang tidak pantas kemudian kita menggeneralisasikan dan menyimpulkan bahwa semua pemeluk agama tersebut berbuat demikian. Padahal Allah sendiri menyaakan bahwa mereka (pemeluk agama lain) sama seperti kita ada yang shaleh ada juga tidak, ada yang ahli ibadah ada juga yang ahli bid’ah (Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harta yang sedikit mereka memperoleh pahala disisi tuhannya QS. Ali imran ayat 199).

Kedangkalan dalam tindakan seringkali kita karena tidak suka dan mengangap orang lain sebagai bukan bagian dari kelompok kita (outsider) maka kita bisa berbuat tidak adil terhadap mereka dalam memutuskan hukum, interkasi sosial maupun hal-hal lain. Seperti meniadakan kesempatan bagi mereka untuk duduk pemerintahan di negara Indonesia yang jelas-jelas dibangun secara bersama-sama. Islam mengajarkan bahwa kita harus menegakkan keadilan dalam sikap dan pandangan ini dengan obyektif terlepas dari rasa suka atau tidak suka (like and dislike) dan tentunya terbebas dari kepentingan untuk membela kelompok kita sendiri (hai rag-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kbencianmu pada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat kepada taqwa QS. Al Maidah ayat 8 )

Prinsip ketiga adalah menjauhi kekerasan dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain termasuk ketika melakukan dakwah. Dalam islam kekerasan hanya ditolerir ketika kita harus mengahadapi kemungkaran atau didlolimi terlebih dahulu ituun harus dengan pertimbangan bahwa hanya jalan inilah yang dapt kita lakukan untuk menghilangkan kemungkaran dan kedloliman tersebut, tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin menggunakan (kekerasan baik fisik maupun psikologis) untuk berdakwah dan memaksa pemeluk agama lain untuk masuk agama islam. Hal ini sebagaimana firman Allah ( Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat QS. Al Baqoroh ayat 256). Oleh sebab itu dalam berdawah kita harus mengutamakan dialog, kebijaksanaan dan cara — cara argumentatif lainnya (interfaith dialogue). Firman Allah ( Serah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan jalan bijaksana dan pelajaran yang baik dan bantahlahlah mereka dengan lebih baik QS. An Nahl ayat 125). Ada beberapa point penting yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin dalam dialog ini pertama bahwa tiap agama mempunyai logikanya sendiri dalm memahami tuhan dan firmannya, kedua bahwa dialog bukanlah dimaksudkan untuk saling menyerang tetapi adalah upaya untuk mencapai kesepahaman, dan mempertahankan keyakinan kita (tentunya dalam kerangka al hanifiyah al samhah sebagimana diatas) ( Katakanlah olehmu (wahai Muhammad) ‘ wahai Ahli kitab marilah menuju ketitik pertemuan antara kami dan kamu QS. Ali Imran ayat 64).

Prinsip keempat adalah menjadikan keragaman agama (religious pluralism) tersebut sebagai kompetisi positif dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Salah satu hikmah diciptakannya manusia berbeda-beda disamping supaya bisa saling mengenal adalah agar keragaman tersebut memacu manusia untuk saling bersaing, memacu diri menjadi yang terbaik diantara umat-umat agama lain dalam hal berbuat kebajikan. ( Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya yang mereka menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan QS. Al Baqarah ayat 148). Dalam kerangka inilah seharusnya hubungan antar agama diletakkan , konsekwensinya ketika ada pemeluk agama lain berbuat amal sosial dengan semisal melakukan advokasi terhadap masyrakat tertindas seperti kaum buruh, pelecehan seksual dan sebagainya maka kita tidak boleh begitu mencurigainya sebagai gerakan pemurtadan atau bahkan berusaha menggagalkannya tetapi hal tersebut haruslah menjadi pemacu bagi kita kaum muslimin untuk berusaha menjadi lebih baik dari mereka dalam hal amal sosial.

Kalau keempat prinsip ini bisa kita pegang Insya Allah akan tercipta hubungan yang lebih harrmonis antar umat beragama, hubungan yang dilandasi oleh sikap saling menghargai, menghormati dan saling membantu dalam kehidupan sosial. Sehingga kehadiran agama (khususnya islam) tidak lagi menjadi momok bagi kemanusiaan tetapi malah menjadi rahmat bagi keberadaan tidak hanya manusia tetapi sekaligus alam semsta ini. ( Wallahu A’lam Bishawab).

Selasa, 13 April 2010

Wahdat al-Wujud In the View of Syekh Yusuf al-Makassari


A. Introduction
Since the early 17th century, Islam has spread completely in almost all regions of South Sulawesi where were still fragmented in several kingdoms such as Gowa-Tallo, Bone, Luwu, Soppeng, Wajo, Mandar, Sidendreng Rappang, and some small kingdoms.
Islam that was the first time introduced and spread in those regions by three Ulama from Minangkabau was mystical oriented (tasawwuf), besides Fiqh with mazhab oriented. It might be understandable since the general inclination of Islam disseminated in East at that time was colored with tasawwuf teaching after the fall of Bagdad in Mongol’s hand in 1258. Therefore, muslims who studied Islam at that time tended to pay their attentions to tarekat, tasawwuf teaching, and fiqh especially syafi’i school.
Syekh Yusuf (1626-1699) who will be major concern of this paper is one of ulama of Gowa kingdom who was born and grew up in such condition. As the product of his era, it is no surprising if he became expert in fiqh of Syafi’I school, tasawwuf and tarekat. However, his name became more famous as a great sufi and he is highly venerated in South-Sulawesi as the father of Khalwatiah order. Almost all of his adventures in seeking knowledge were spent to learn and deepen mystical order of various schools such as: Qadiriyyah, Ba’lawiyyah, Naksyabandiyah, Syattariyyah, Ahmadiyyah, Suhrawardiyyah, Kabrutiyyah, Maduriyyah, Muhammadiyyah, Madyaniyyah, Kawabiyyah, and Khalwatiyyah. For the last order, his teacher gave him honorific title “Taj al-Khalwati Hidayat Allah.”
In this paper, the writer only attempts to focus on Syekh yusuf’s view of Wahdat al-Wujud which is by no means associated with Ibn ‘Arabi, the father of such concept. It is interesting to study his view on this controversial concept since he was generally assumed by his followers as Sunni Sufi. However, in fact, in some of his works, he seems to partly accept Wahdat al-Wujud for certain extent.
B. Short Biography of Syekh Yusuf al-Makassari
The first written source which reveals the life of Syekh Yusuf Makassar is the traditional book of history belongs to Makassarese-buginese, that is the so-called “Lontara”. There are three Lontara which inform much of his life, namely lontara Tallo, lontara Gowa and lontara Bilangngang. It was the three lontara considered to very reliable in tracing Riwawayana Tuanta Salamaka ri Gowa (the history of our safe master in Gowa, i.e. Syekh Yusuf al-Makassar). Besides, oral tradition which is famous among Buginese-Makassarese people in South Sulawesi could also tell us such history.
According to “Lontara Bilangngang”, the heritage of the twin kingdoms, Gowa-Tallo, Syekh Yusuf was born on 3 July 1626 M coinciding with 8 Syawal 1036 H. The story of his birth was told in oral tradition in Buginese-Makassarese society and it become agreement among them. This fact indicates that his birth was 20 years after Gowa and Tallo kingdoms being Islamized by an Ulama from Minangkabau, namely Abdul Kadir Khatib Tunggal or popularly called Dato’ri Bandang.
As an ordinary human, he was born on the earth through his father and mother. As stated in Lontara Riwaya’na Tuanta Salama ri Gowa, his father is Galarrang Moncongloe, a brother in one mother line of the king of Gowa Imanga’rangi Daeng Manrabia or Popularly known as Sultan Alauddin, the first king who converted to Islam and declared Islam as the formal religion of his kingdom in 1603. His Mother is Aminah binti Damapang Ko’mara, who is descendant of noble family from the Tallo kingdom, the twin kingdom of Gowa.
However, according to hasyiyat fi al-Kitab al-Anba’ fi I’rab la Ilaha illa Allah, one of syekh yusuf’s works stated that his father is Abdullah, so Prof. Hamka decides that his father’s name is Abdullah. Besides, oral tradition inherited by his descendants informs that His father is Abdullah Khaidir. Yet, the latter name still becomes controversy in common people since some regard that he is the prophet Khaidir. Nonetheless, the geneology of his descendants which is inherited by generations can convince us that his father is Gallarang Moncongloe, then Islamized as Abdullah Khaidir.
The life of Syekh Yusuf was popular up to now in four places or countries; they are Makassar (South Sulwesi), Banten (West Java), Ceylon (Sri Langka), and Cape Town (South Africa) since he spent much of his life at those places. In Ceylon and South Africa, he was even regarded as the first who put foundations of the existing Moslem community and as the father of several Moslem communities in south Africa who struggled to realize unity against oppression and ethnical differences.
During his childhood, he spent with learning to read al-Qur’an and was taught how to practice Islam in daily life. After being able to read al-Qur’an and ready to study further, his father sent him to pondok pesantren Bontoala to study Islamic knowledge and linguistic means such as: Nahw, Sharf, Balaghah, Ma’ani and ‘Ilm al-Mantiq. Afterwards, Syekh Yusuf pursued his study in pondok Cikoang under the teaching of Syekh Jalaluddin al-Aidid. Because of his intelligence in following Majlis, he was then suggested by his teachers to continue his study in Jazirah Arabia.
Having adventured in Middle-East for around twenty years to study Islam, he returned to his hometown. Although there is oral story stated that he never go home, this story can not be accepted because we do not get any strong reasons and historical fact for evidence. Yet, it should be noted that after returning to Nusantara, Syekh Yusuf became the great warrior who always precipitated rebellions against the Dutch either when he was in Makassar, Banten, Ceylon, and South Africa. Wherever he was, he often dessiminated Da’wah Islamiyyah and called upon Jihad fi Sabilillah.
Syekh Yusuf was also popular as the prolific writer of tasawwuf works either in Makkassarese, Bugis, Arabic, Javanese, and Arabic. His works written in Arabic to mention some as follow:
1. al-Barakat al-Sailaniyyah
2. Bidayat al-Mubtadi’
3. al-Fawaih al-Yusufiyyah
4. Hashiyah in Kitab al-Anba’
5. Kaifiyyat al-Munghi
6. Matalib al-Salikin
7. al-Nafhat al-sailaniyyah
8. Qurrat al-‘Ain
9. Sirr al-Asrar
10. Sura
11. Taj al-Asrar
12. Zubdat al-Asrar
13. Fath Kaifiyyat al-Dzikr
14. Dafal-Bala’
15. Hazhihi Fawaid ‘Azima Dzikr La Ilaha illa Allah
16. Muqaddimat al-Fawaid allati ma la budda min al-‘Aqaid
17. Tahsil al-Inayah wa al-Hidayah
18. Risalah Ghayat al-Ikhtishar wa Nihayat al-Intizar
19. Tuhfat al-Amr fi Fadilat adz-Dzikr
20. Tuhfat al-Abrar li Ahl al-Asrar
21. al-Munjiyya ‘an Madarrat al-Hijaiba

Syekh Yusuf passed away in 22 Zulqaidah 1109 H coinciding with 23 May 1699 M. in his seclusion, Zandvliet at the age of 73 years old. He was buried in sandy hill of Fasle Bay, not far from his residence. His tomb now was seen as ‘sacred’ and believed as the holy place. His tomb was completed with other buildings, including the tombs of his four students who also struggled for Islam in South Africa.
C. Wahdatul Wujud in the View of Syekh Yusuf al-Makassary
It is widely acknowledged that the founder of wahdat al-wujud is the outstanding sufi, Ibn Arabi, who was born in Murcia, Andalusia in 560 H/1165 M and passed away in Damascus in 683 H/1240 M. Albeit the term “Wahdat al-Wujud” can not be found in his works, he always made statements that lead to such idea.
One of his works, Futuhat al-Makkiyyah, in which he wrote much about his amazing spiritual experiences that marked with many signs indicate that he has reached the level of kasyf when he was still young. Despite his works he wrote are more symbolic, he acquired his knowledge through the process of ‘opening’ (Kasyf).
It is hard to precisely understand Ibnu ‘Arabi’s concept of Wahdatul Wujud, but the main point is that there is no being/existence (wujud) except God; only one wujud, namely God. Anything except God is nothing in itself; it is merely the manifestation of God. Universe has no wujud itself except borrowing wujud comes from God. God (al-Haqq) and alkhalq (universe) are one but different.
In terms of the concept of Wahdat al-Wujud, Syekh Yusuf elaborated it in his message (risalah) Matalib al-Salikin. In introduction, he explains actually that risalah were the notes he wrote during his participation in majlis under his teacher Syekh Abdul Karim Al-Lahure, one of the leaders of Naqsabandiyah order and the famous Ulama in that era. Syekh yusuf notes that one should necessarily learn three things in order to complete his knowledge, namely ma’rifah, tauhid, and ibadah. The aforementioned kinds of knowledge cannot be separated with one another since they are illustrated as a tree, tauhid as the root, ma’rifah as the branch and the leaf, and lastly ibadah as the fruit.
In explaining the meaning of tauhid, he devides it into two parts, tauhid Wahdat al-Wujud and tauhid that can be understood by common Moslems. Syekh Yusuf did not strictly put one or both tauhid under priority, because according to him, the ability of human to understand tauhid is different with one another. Therefore, everyone is able to understand the concept of tauhid in accordance with his ability.
Commenting the concept of Wahdat al-Wujud, he argues that this kind of tauhid is only believed by some sufi. In his view, basically there is no ‘being’ (maujud) in ghaib and syahadah, in form (surah) and meaning (ma’na), in exoteric and esoteric, except in one existence (wujud), one essence and one substance. Syekh Yusuf illustrated this explanation like different parts of human body with its spirit itself. Similarly, as he said, the relation between God and creatures like the relation between human body and its spirit. It means that human spirit does not only exist (istiqrar) in one part of his body, but it covers all parts of his body. Likewise, God does not only exist (istiqrar) in one creature, but He covers all creatures.
In the context of essence unity and the characteristic (sifat) of God, Syekh Yusuf explains that both are one unity that is impossible to be separated. It is more likely the same with the nature of human who has body and spirit, as long as he or she is still alive, there is no separation at all. It seems from the explanation above that the concept of Wahdat al-Wujud according to Syekh Yusuf is not exactly the same with that addressed to Ibnu ‘Arabi since the latter stated: “know that Allah is one in unity, it is impossible if the one hulul to thing, or the thing hulul to Him, or He unites with a thing”.
Ibnu ‘Arabi asserted that it is impossible if the qadim One can become a place for the jadid (new) or take place in jadid. The new existence and qadim existence are interlinked with one another on the bounding of idhafah and law, not the bounding between one existence with the other one, since it is impossible if God can unite with His creature in the one level (martabat).
If one compares between Ibnu ‘Arabi’s statements and Syekh Yusuf’s interpretation on Wahdat al-Wujud, it will be apparent that Ibn ‘Arabi’s concept is more complicated and vulnerable to be misleading. It was Ibnu Arabi entitled as the father of Wahdat al-Wujud in tasawwuf world because he the first composed such concept more completely and this influenced much the latter sufi and scholars. That is why his thought up to now still becomes controversial among Moslem thinkers.
It is more probably that Syekh Yusuf did not directly refer this matter to Ibnu ‘Arabi’s writings especially Futuhat al-Makkiyyah and fushus al-Hikam. He might merely rest on the interpretations of Wahdat al-Wujud which were developed in his era through his teachers. Nevertheless, we can find in his writings focusing on the essence of universe existence that have slight similarities with Ibnu ‘Arabi’s statements in his book Fusus al-Hikam such as: “actually the existence of universe is equal to non-existence, likes the existence of shadow. The existence of shadow is not the reality; in fact it is non-physic in the form (surah) of existence.”
This statement is almost the same with that of Ibn ‘Arabi in Fushus al-Hikam: “know that anything that is called as “except al-Haqq” or the so-called as universe, if it is addressed to al-Haqq (Allah), it might be like the human’s shadow. Universe is the shadow of God, and He is the essence of addressing existence to universe since that shadow exists in reality without any doubt in belief.
It seems to me, from the explanation above, that the influence of Ibnu ‘Arabi on essence of al-wujud is quite dominant in Syekh Yusuf’s philosophy of tasawwuf. While the interpretation of Wahdat al-Wujud referred to Syekh Yusuf was obviously influenced by the thought trend expanded in his era. His interpretation in this case is much closer to idea of negating the existence at all except the existence of God.
Furthermore, in his works, we also can find the influence of Syekh Nuruddin ar-Raniri’s thought concerning the interpretation of Wahdat al-Wujud. It might be due to his acquaintance with him in Aceh before travel to Middle-East for seeking knowledge. The works of ar-Raniri he read improved hid horizon especially his criticism toward those misunderstood the concept of Wahdat al-Wujud.
There are some terms of ar-Raniri which is also used by Syekh Yusuf in explaining the meaning of wujud and Wahdat al-Wujud in his works such as: hakiki, majazy, muqayyad. Mazha, zill and so on. This may indicate that he was impressed by Wahdat al-Wujud delivered by ar-Raniry.
Wahdat al-Wujud expressed by Syekh Yusuf only mentioned once in his risalah Mathalib a-Salikin. Even he makes a new term, namely Wahdah Samadiyyah which means one meaning to express the sense of creature’s togetherness with God in that can not be reached by human understanding except God himself, who knows the essence of such togetherness . However, it may be felt by those who perform ibadah sincerely and continually.
Based on the explanations above, the writer can formulate that Syekh Yusuf in elaborating Wahdat al-Wujud still holds firmly manhaj ahl Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. He treats Muhkamat verses on Tauhid as the foundation of aqidah, while Mutasyabihat verses, he understood them without ta’wil and render the essence and the meaning to God. He is very careful in interpreting sufi’s views relating to Wahdat al-Wujud. Therefore, he did not label his tasawwuf teaching as Wahdat al-Wujud even more hulul and ittihad.
Nevertheless, in the context of relation between creature and his God through ibadah, he used the terms ihatah and ma’iyyah derived from al-Qur’an. He formulated both terms in one concept which he called Wahdah Samadiyyah. This concept, as I mentioned before, is the sense of togetherness of God with his creatures, and this can be felt by anyone who devotes himself to God.
D. Conclusion
It is undeniable that Syekh yusuf al-Makassari is the great ulama in 17th century who got involved in coloring the Islamic thoughts in Indonesia, notably tasawwuf and lots of his works he produced during his life. On the basis of the elucidations above, we can draw a conclusion that he is typical ulama that is very careful in interpreting sufi’s view in relation to Wahdat al-Wujud. Although he was influenced by Ibnu ‘Araby’s concept, he did not become the extreme follower of Ibnu ‘Arabi since he did not label it as Wahdat al-Wujud. Instead, he uses his own terms ihatah and ma’iyyah for the context of relation between God and Human. Both terms were formulated into one concept, namely Wahdat as-Samadiyyah. This concept does not concern on unity between God and Human in essence and substance (zat), but the sense of togetherness with God.


Bibliography

Abu Hamid, Syekh Yusuf Tajul Khalwati:Satu Kajian Antropologi, Tesis Doktor Falsafah, Universitas Hasanuddin Makassar, 1990
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah an Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18: Melacak akar-Akar Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung ; Mizan, 1994
Chittick, William C., Imajinal World, Ibn.al-Arabi and The Problem of Religious Diversity. Indonesian translation. Surabaya; Risalah Gusti, 2001
Galigo, Syamsul Bahri Andi, Syekh Yusuf Makassar dan Pemikiran Tasawufnya, Tesis Doktor Falsafah, Universitas Kebangsaan, 1998
Hamka, Sejarah Umat Islam, Cet. II, Jakarta : Bulan Bintang,1976
Ibnu Arabi, Muhyiddin, al-Futuhat al-Makkiyah, Tahqiq Ibarahim Madkur, Vol. III, Al Qahirah; Dar al-Ma’rifah, 1987
---------------, Fusus al-Hikam, Beirut; Dar al-Kitab al-Arabi, 1946
Ismail, Taufik, Syekh Yusuf: seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta ; Percetakan Obor, 1994
Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
Mattulada, Islam in Sulawesi Selatan in Agama dan perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1996,
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan sejarah Indonesia, Jakarta; LP3ES, 1987.
Tudjimah, Syekh Yusuf Makassar; Riwayat dan Ajarannya, Jakarta: UI-Press, 1997.

PERKEMBANGAN KERAJAAN TURKI USMANI


I. Pendahuluan

Sejarah kerajaan Turki Usmani yang ditulis di dalam buku-buku tarikh Islam di Indonesia sering tidak mendapat porsi sebanyak yang diperoleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Melihat dari hasil budaya yang dipersembahkannya dipermukaan, Dinasti Turki Usmani ini tidaklah bisa disamakan dengan kedua Dinasti di atas, tetapi melihat peranannya sebagai benteng kekuatan Islam dalam menangkal ekspansi bangsa Eropa ke timur, maka dengan ini ia tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kajian sejarah Islam.

Turki Usmani telah menunjukkan kehebatannya dalam menangkis serangan musuh. Serangan-serangan perluasan yang dilakukannya langsung menusuk menusuk ke wilayah penting, termasuk penaklukan Konstantinopel.

Perjalanan panjang kerajaan Turki Usmani telah menampilkan 35 orang Sultan dengan corak pkepemimpinan masing-masing. Tetapi sebagaimana Dinasti lainnya, hukum sejarah juga berlaku, bahwa masa pertumbuhan yang diiringi dengan masa gemilang biasanya berakhir dengan masa kemunduran bahkan mungkin kehancuran.

Makalah ini akan membahas sejarah berkembangnya kerajaan Turki Usmani serta kemajuan-kemajuan yang dicapai baik dalam bidang sosial, politik dan lain-lain.

II. Pembahasan

A. Asal Mula Kerajaan Turki Usmani

Kerajaan Turki Usmani muncul di pentas sejarah Islam pada periode pertengahan. Masa kemajuan Dinasti ini dihitung dari mulai digerakkannya ekspansi ke wilayah baru yang belum ditundukkan oleh pendahulu mereka. keberhasilan mereka dalam memperluas wilayah kekuasaan serta terjadinya peristiwa-peristiwa penting merupakan suatu indikasi yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kemajuan tersebut.

Pendiri dari kerajaan Turki ini adalah bangsa Turki dari kabilah Qayigh Oghus[1] salah satu anak suku Turk yang mendiami sebelah barat gurun Gobi, atau daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina, yang dipimpin oleh Sulaiman. Dia mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa mongol yang menyerang dunia Islam yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm pada tahun 1219-1220. Sulaiman dan anggota sukunya lari ke arah Barat dan meminta perlindungan kepada Jalaluddin, pemimpin terakhir Dinasti Khawarizm di Transoxiana (maa wara al-Nahr). Jalaluddin menyuruh Sulaiman agar pergi kearah Barat (Asia Kecil). Kemudian mereka menetap di sana dan pindah ke Syam dalam rangka menghindari serangan mongol. Dalam usahanya pindah ke Syam itu, pemimpin orang-orang Turki mendapat kecelakaan. Mereka hanyut di sungai Efrat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar pada tahun 1228.[2] Akhirnya mereka terbagi menjadi 2 kelompok, yang pertama ingin pulang ke negeri asalnya; dan yang kedua meneruskan perjalanannya ke Asia kecil. Kelompok kedua ini berjumlah 400 kepala keluarga yang dipimpin oleh Ertugril (Erthogrol) ibn Sulaiman. Mereka mengabdkan dirinya dirinya kepada Sultan Alauddin II dari Dinasti Saljuk Rum yang pusat pemerintahannya di Kuniya, Anatolia Asia Kecil.

Pada saat itu, Sultan Alauddin II sedang menghadapi bahaya peperangan dari bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan di Romawi Timur (Byzantium). Dengan bantuan dari bangsa Turki pimpinan Erthogrol, Sultan Alauddin II dapat mencapai kemenangan. Atas jasa baik tersebut Sultan menghadiahkan sebidang tanah yang perbatasan dengan Bizantium. Sejak itu Erthogrol terus membina wilayah barunya dan berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut wilayah Byzantium.[3]

Pada tahun 1288 Erthogrol meninggal dunia, dan meninggalkan putranya yang bernama Usman, yang diperkirakan lahir pada 1258 M. usman inilah yang ditunjuk oleh Erthogrol untuk meneruskan kepemimpinannya dan disetujui serta didukung oleh Sultan Saljuk pada saat itu. Nama Usman inilah yang nanti diambil sebagai nama untuk Kerajaan Turki Usmani. Usman ini pula yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Usmani. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II. Kemenangan-kemenangan dalam setiap pertempuran dan peperangan diraih oleh Usman. Dan berkat keberhasilannya maka benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan Broessa dapat ditaklukkan. Keberhasilan Usman ini membuat Sultan Alauddin II semakin simpati dan banyak memberi hak istimewa pada Usman. Bahkan Usman diangkat menjadi gubernur dengan gelar Bey, dan namanya selalu disebut dalam do’a setiap khutbah Jum’at.[4] Penyerangan Bangsa Mongol pada tahun 1300 ke wilayah kekuasaan Saljuk Rum mengakibatkan terbunuhnya Sultan Saljuk tanpa meninggalkan putra sebagai pewaris kesultanan.[5] Dalam keadaan kosong itulah, Usman memerdekakan wilayahnya dan bertahan terhadap serangan bangsa Mongol. Usman memproklamirkan kemerdekaan wilayahnya dengan nama Kesultanan Usmani.

B. Perkembangan Kerajaan Turki Usmani

Dengan jatuhnya jazirah Arab, maka imperium Turki Usmani mempunyai wilayah yang luas sekali, terbentang dari Budapest di pinggir sungai Thauna, sampai ke Aswan dekat hulu sungai Nil, dan dari sungai efrat serta pedalaman Iran, sampai Bab el-Mandeb di selatan jazirah Arab.[6] Selama masa kesultanan Turki Usmani (1299-1942 M.) sekitar 625 tahun berkuasa tidak kurang dari 38 Sultan.

Dalam hal ini, Syafiq A. Mughni membagi sejarah kekuasaan Turki Usmani menjadi lima periode,[7] yaitu:

  1. Periode pertama (1299-1402), yang dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan timur yaitu dari pemerintahan Usman I sampai pemerintahan Bayazid.
  2. Periode kedua (1402-1566), ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar. Dari masa Muhammad I sampai Sulaiman I.
  3. Periode ketiga (1566-1699), periode ini ditandai dengan kemampuan Usmani untuk mempertahankan wilayahnya. Sampai lepasnya Honggaria. Namun kemunduran segera terjadi dari masa pemerintahan Salim II sampai Mustafa II.
  4. Periode keempat (1699-1838), periode ini ditandai degan berangsur-angsur surutnya kekuatan kerajaan dan pecahnya wilayah yang di tangan para penguasa wilayah, dari masa pemerintahan Ahmad III sampai Mahmud II.
  5. Periode kelima (1839-1922) periode ini ditandai dengan kebangkitan cultural dan administrates dari negara di bawah pengaruh ide-ide barat, dari masa pemerintahan Sultan A. Majid I sampai A Majid II.

Persinggungan Islam dengan Turki melalui sejarah panjang, terhitung sejak abad pertama hijriyah hingga suku-suku Turki menjadi penganut dan pembela Islam. Pengaruh Turki dalam dunia Islam semakin terasa pada masa Pemerintahan al-Musta’sim (640-656 H./1242-1258 M.), khalifah terakhir dinasti Abbasiyah. Sejak masa itu bangsa Turki dari berbagai suku senantiasa terlibat dalam jatuhbangunnya berbagai dinasti di daerah mana mereka bertempat tinggal dan mengabdi.[8]

(Ingin Mendapatkan makalah ini hub.email: tafsirhadits@ymail.com



[1] John L.Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (Oxford: Oxford Univercity Press, 1995), vol. vi, h. 63, lihat juga Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, (Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1976), jilid IV, h. 324

[2]A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 51

[3]Siti Maryam dkk. (ed.) Sejarah Pearadaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 132

[4]A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, h. 52

[5]Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, h. 945

[6]Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, tth.) h. 660

[7] A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, h. 54

[8] Ensiklopedi Islam, h. 114