Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Sabtu, 16 Januari 2010

Strategi Pengembangan Pendidikan Tinggi Islam

STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM
Oleh:
Sulaiman Ibrahim

Pendidikan Islam mempunyai sesuatu kekuatan yang sangat signifikan dipertahankan atau dikembangkan. Hal ini mungkin dapat dilihat dari tataran filosofis atau konseptual dan Pengalaman selama ini dari lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dari waktu ke waktu telah mampu tumbuh di tengah-tengah dinamika masyarakat.
Menyoroti problematika pendidikan di negara kita dewasa ini, jelas bukan persoalan yang sederhana, untuk itu diperlukan data yang akurat. Padahal sangat sulit bagi kita semua untuk memperoleh data yang akurat. Kesalahan data dapat mengakibatkan kesalahan analisis, dan dengan begitu pembicaraan kita menjadi tidak relevan.
Namun demikian, masalah pendidikan bukan masalah yang berdiri sendiri. Pendidikan dapat dinyatakan sebagai “persimpangan jalan” antara perkembangan sosial budaya, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan bukan sesuatu yang bebas. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya. Ia dapat memberi tetapi sekaligus ia juga menerima. Ia menghasilkan tetapi juga dihasilkan. Oleh karena itu, di dalam pendidikan ada kecendrungan tidak hanya terbatas untuk menghasilkan prilaku individu, tetapi berangsur berevolusi kearah tujuan sosial. (Djohar MS, t.th: 13)
Pendidikan agama Islam sebagai salah satu pendukung utama sistem pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia, memberi warna bagi peningkatan iman dan takwa (Imtak) dalam upaya mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dewasa ini. Keseimbangan antara kemajuan iptek dan imtak diharapkan menghasilkan cendekiawan muslim yang memiliki rasa tanggung jawab dunia dan akhirat. Kemajuan iptek yang dilepaskan dari dimensi agama ataupun sebaliknya, berkecendrungan pada apa yang disinyalir oleh Einstein dalam ucapannya yang termasyhur: science without religion is blind, religion without science is lame (ilmu tanpa agama itu buta, sedangkan agama tanpa ilmu akan menjadi lumpuh).
Pendidikan agama Islam mengandung arti yang luas, karena tidak hanya menyangkut pendidikan dalam arti pengetahuan, namun juga pendidikan dalam arti kepribadian. Pendidikan dalam arti pengetahuan tidak akan ada artinya kalau tidak melibatkan pendidikan kepribadian, karena pendidikan agama tidak cukup diukur pada ranah kognetif semata, namun juga melibatkan ranah afektif dan psikomotorik. Pendidikan Agama Islam justru diharapkan mampu merasuk ke dalam penghayatan, sehingga sikap dan tingkah laku sipenganut agama akan sejalan dengan pengetahuan keagamaan yang dimilikinya.
Pendidikan kita dalam era reformasi menghadapi dua tuntutan sekaligus. Pertama, tuntutan masyarakat terhadap mutu pendidikan kita yang rendah, dan kedua belum relevannya pendidikan dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Sejalan dengan itu pendidikan nasional menghadapi masalah memasuki era globalisasi yaitu era dunia terbuka. Di dalam kaitan ini, kemampuan bangsa kita masih belum memadai di dalam rangka kerja sama dan juga persaingan dengan bangsa-bangsa yang lain. Kedua masalah ini, sekaligus harus dapat diatasi dalam rangka untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Dari sinilah muncul persoalan-persoalan yang mendesak untuk diantisipasi sebagai upaya untuk mengembangkan pendidikan khususnya di perguruan tinggi Islam.

Kondisi Pendidikan Tinggi Islam
Secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan. Pertama, kelemahan sumber daya manusia (SDM), manajemen maupun dana. Sementara itu, kita mengetahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang makin kompetitif seperti sekarang ini, dan ini harus didukung oleh tiga hal, yaitu: SDM, manajemen dan dana. Kedua, kita menyadari bahwa hingga saat ini lembaga lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita Idealnya. Sementara masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan Islam sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam dalam mewujudkan cita-citanya sebagai Rahmatan lil Alamin. Lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum mampu mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam secara kontekstual dengan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Ketiga, kita masih lihat lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu mewujudkan Islam secara transformatif. Kita masih melihat bahwa masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada dataran simbol dan formalistik. (Nata, 2001: 178-179)
Kalau kita menengok sejarah, bahwa aspirasi umat Islam dalam pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1) Untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah; (2) Untuk melaksanakan pengembangkan dan peningkatan dakwah Islam; dan (3) Untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan dan sebagainya. (Azra, 1999: 24)
Pada perkembangan selanjutnya terdapat kecendrungan-kecendrungan baru untuk merespon berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang di masyarakat. Beberapa kecendrungan tersebut antara lain menyangkut: Pertama, tuntutan akan studi keislaman yang mengarah pada pendekatan non-mazhabi, sehingga menghasilkan pemudaran sektarianisme. Adanya perkuliahan perbandingan mazhab, masa’il fiqhiyah, pemikiran dalam Islam (Ilmu kalam, Filsafat Islam, Tasawuf) dan lain-lain, merupakan upaya pengembangan wawasan terhadap khazanah pemikiran ulama-ulama terdahulu dan kontemporer untuk merespon berbagai problem, tuntutan dan tantangan perkembangan zaman, dan sekaligus sebagai upaya melakukan pemudaran sektarianisme tersebut. Kecendrungan semacam ini sangat relevan dalam rangka mengantisipasi pluralisme serta pandangan bangsa Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, menyangkut pergeseran dari studi keislaman yang bersifat normatif kearah yang lebih historis, sosiologis dan empiris. Upaya ini diwujudkan antara lain dalam bentuk perpaduan antara empirik dan sumber wahyu yang saling mengontrol, dalam arti wahyu mengontrol untuk menghasilkan teori yang kridibel dan bermanfaat, dan dalam waktu yang sama hasil empirik akan mengontrol proses memahami wahyu. Ketiga, menyangkut orientasi keilmuan yang lebih luas. (Muhaimin, :296-297)
Memang pendidikan tinggi di Indonesia dilihat dari berbagai indikator menempati rangking yang paling bawah dalam lingkungan pendidikan tinggi di Asia. Memasuki milenium ketiga yang penuh dengan persaingan, keadaan pendidikan tinggi yang demikian tentunya perlu dengan segera diubah dan ditingkatkan mutunya. Paradigma baru perlu dirumuskan diikuti dengan penjabaran visi misi serta program-program peningkatan mutunya. Salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi kita memasuki milenium ketiga adalah merajut kerja sama atau networking, baik dengan pendidikan di dalam maupun di luar negeri, juga dengan berbagai lembaga penelitian terbaik.
Berbicara mengenai pendidikan tinggi di era globalisasi terdapat dua dimensi yang berkaitan erat yaitu: lokalisme dan globalisme. Tidak mungkin kita membangun lembaga pendidikan tinggi memasuki kehidupan global tanpa memperbaiki mutu dan kelembagaan dari pendidikan dalam negeri kita. Oleh sebab itu, dalam membicarakan misi pendidikan tinggi tidak terlepas dari analisis mengenai dimensi lokal dan kemudian sejalan dengan itu mengembangkan dimensi globalnya.
Menurut HAR Tilaar, (2000: 110) dimensi lokal visi pendidikan tinggi kita mempunyai unsur-unsur:1) akuntabilitas, 2) relevansi, 3) kualitas, 4) otonomi kelembagaan, dan 5) jaringan kerja sama. Pada dimensi global visi tersebut mempunyai tiga aspek yaitu: kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama.
Untuk mewujudkan visi misi perguruan tinggi bukan tanpa hambatan, dalam mewujudkan akuntabilitas, hambatan yang dihadapi adalah masih rendahnya partisipasi masyarakat. Selain itu orientasi ke pemerintah pusat akibat sistem yang sentralistik masih sangat dominan.

Pengembangan Keilmuan
Akhir-akhir ini terdengar keinginan beberapa lembaga pendidikan tinggi kita ke arah “research university”. Ide ini memang punya dasar. Lembaga pendidikan tinggi dalam proses globalisasi dewasa ini dimana persaingan semakin tajam serta kualitas produksi termasuk produksi lembaga pendidikan tinggi semakin menjadi tuntutan, memang di masa depan eksistensi lembaga pendidikan tinggi akan ditentukan oleh kemampuan risetnya.
Pendidikan tinggi tidak dapat hanya menjadi penonton atau mungkin sebagai pengeritik kejadian-kejadian sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Memang perguruan tinggi tidak lagi berdiri di atas menara gading atau menara batu di atas masyarakat. Perguruan tinggi adalah sebagian dari gerakan pembangunan nasional. Menurut Soejanto sebagaimana yang dikutip oleh HAR Tilaar mengatakan, apabila fakta dan realita dalam masyarakat merupakan teks maka tugas pendidikan tinggi untuk menganalisa teks itu dalam suatu konteks yang berarti. Hal ini berarti bahwa fakta-fakta itu perlu dikaji relasinya dengan kehidupan sosial budaya bangsa secara keseluruhan Kemampuan untuk mau dan dapat melihat teks yaitu fakta dan realita gejala-gejala sosial masih merupakan tugas yang berat bagi kebanyakan perguruan tinggi kita. Kemampuan ini hanya dapat ditingkatkan apabila syarat-syarat minimal suatu perguruan tinggi sudah dipenuhi antara lain prasarana kampus yang memadai, peralatan laboratorium, perpustakaan yang berfungsi, dan armada dosen yang siap tempur artinya punya dedikasi dan kemampuan profesional yang tinggi. Erat kaitannya dengan meningkatkan kemauan dan kemampuan lembaga pendidikan tinggi untuk melihat fakta sosial, ialah tumbuhnya suatu budaya kampus juga meminta perubahan citra dari masyarakat dan para mahasiswa mengenai kehidupan akademik.
Demikian suatu pandangan mengenai salah satu aspek pengembangan pendidikan tinggi kita dalam mengantisipasi perubahan masyarakat. Pengelolaan berkenaan dengan mobilisasi sumber agar lembaga pendidikan tinggi itu dapat berprestasi semaksimalnya sesuai apa yang diinginkan masyarakat dari lembaga itu. Ada kemungkinan bahwa struktur kelembagaan pendidikan tinggi kita perlu disesuaikan kembali (restrukturisasi) sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagai suatu ilustrasi, tuntutan terhadap profesi kependidikan semakin meningkat yaitu bahwa profesi kependidikan menuntut penguasaan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kokoh. (Allahu A’lam bi Shawab)

http://www.kompasiana.com/sulaiman_ibrahim

Jumat, 15 Januari 2010

EKSISTENSI ILMU HADIS MU’TAZILAH

EKSISTENSI ILMU HADIS MU’TAZILAH
Oleh: Sulaiman Ibrahim

Pendahuluan
Persis seperti ramalan Nabi, umat Islam terpecah menjadi sekian banyak sekte dengan sistem teologi yang saling bertentangan satu sama lain. Pertentangan teologis yang bermula dari perbedaan visi politik, perbedaan toritorial. Menurut Ibnu Khaldun, perbedaan menyikapi ayat-ayat mutasyabihat ini demikian tajam hingga tak bisa dikompromikan hingga menciptakan sekte baru. Uniknya, masing-masing sekte mengklaim sebagai pewaris sunnah Nabi dan tradisi normatif Islam, sekaligus menuduh lawannya sebagai “hetereodoks (mubtadi’ah) sesat dan menyesatkan”.
Mu’tazilah, sebuah sekte tradisional dengan produk-produk pemikiran yang lebih filosofis ketimbang religius, tidak kalah kuat mengklaim sunnah dari kelompok yang bahkan kelompok yang mencantumkan kata “sunnah” dilabel namanya. Al-Qadhi Abd al-Jabbar (w. 415 H.) menulis sebuah buku tentang Mu’tazilah atas permintaan Raja Khawarizm Syah (w.407 H.) yang ingin tahu lebih banyak prihal sekte yang satu ini. Dalam pengantarnya Abd al-Jabbar mengatakan: “Aku merasa wajib untuk segera melaksanakan permintaan tersebut agar tuan raja adil ini (semoga Allah melanggengkan kekuasaannya dan menjaga kedudukannya) mengetahui bahwa (teologi Mu’tazilah) yang dianut ini sejalan dengan ajaran Nabi dan Iman-iman salaf.
Seorang ahli hadis dan Asy’ariyah tulen akan mendustakan ucapan al-Jabbar sambil menyebut fakta historis inkuisis (pemeriksaan paham pribadi, terkenal dengan istilah mihna al-khalq al-Qur’an) terhadap ahli hadis yang dilakukan Mu’tazilah dengan dukungan pemerintah Abbasiyah pada masa al-Makmun. Kontradiksi ucapan dan fakta ini seharusnya menimbulkan pertanyaan. Bagaimana sebenarnya konsep sunnah yang sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh ahli sunnah sendiri?. Jawaban-jawaban ini diharapkan menyingkap sejauh apa perbedaan sistem teologi rasional Mu’tazilah dan Ahli Sunnah (Asy’ariyah dan ahli hadis), khususnya pandangan mereka terhadap sunnah Nabi sebagai landasan berpikir. Untuk itu, tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Yaitu asal usul Mu’tazilah, konsep sunnah menurut Mu’tazilah, dan pengaruh pemikiran hadis Mu’tazilah terhadap perkembangan ilmu hadis termasuk respon menjaga tradisi terhadap pemikiran Mu’tazilah.
(Ingin mendapatkan makalah ini lebih lengkap hubungi penulis)

Takhrij Hadits

TAHKRIJ AL-HADITS
نـوم الصـائم عبـادة و الصــلاة عمـاد الدين

Oleh: Sulaiman Ibrahim
I. Pendahuluan
Para peneliti hadis sependapat bahwa langkah awal yang harus ditempuh dalam penelitian hadis adalah melakukan takhrij, yakni mengutip hadis-hadis secara lengkap (sanad dan matan) dari sumber aslinya dengan menggunakan alat bantu berupa Mu’jam (kamus) hadis.
Di antara Mu’jam hadis yang banyak dijadikan pedoman dalam men-takhrij hadis adalah Mu’jam al-Mufahras karya Arnold John Wensicnk, al-Jami’ al-Shagir karya Jalal al-Din al-Suyutiy, Atraf al-Sahihayn karya Ibn ‘Ubaid al-Dimasyqi, Athraf al-Kutub al-Sittah karya Ahmad al-Maqdisiy, Tuhfat al-Asyraf bin Ma’rifat al-Athraf karya Yusuf al-Mizzi, dan selainnya.
Fasilitas lain yang dapat dijadikan rujukan dalam pen-takhrij-an hadis dewasa ini adalah CD Hadis yang sistem kerjanya berbasis komputerisasi.
Dengan tersebarnya kitab-kitab Mu’jam hadis serta pasilitas lainnya yang dapat mendukung pen-takhrij-an hadis, maka kegiatan penelitian hadis semakin mudah dilakukan dan bahkan sangat perlu digalakkan, guna mengetahui kualitas hadis-hadis; apakah ia shahih, hasan atau dhai’f.
Penelitian hadis yang dimaksud di sini meliputi sanad dan matan-nya. Jika hasil penelitian menunjukkan bahwa hadis itu berkualitas shahih maka statusnya qat’iy al-dalalah dan wajib dijadikan hujjah. Jika hadis itu berkualitas hasan, maka statusnya zhanniy al-dalalah dan boleh saja dijadikan hujjah. Jika hadis itu berkualitas dha’if, maka hadis statusnya mardud al-dalalah dan tidak boleh dijadikan hujjah.
Metode yang dimaksud di sini adalah cara kerja yang bersistem untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu untuk mencapai tujuan, sedangkan takhrij dalam bahasa Arab adalah berasal dari akar kata kharraja (خرج) yang berarti mengeluarkan, tampak atau jelas. Sehingga, term takhrij ini memiliki sinonim dengan beberapa kata, misalnya, al-istimbat (الإستنباط) yang berarti mengeluarkan, al-tadrib (التدريب) yang berarti meneliti dan al-tawjih (التوجيه) yang berarti menerangkan.



M. Syuhudi Ismail dalam mengutip beberapa pendapat ulama, sekurang-kurangnya ditemukan lima pengertian takhrij hadis yakni :

1. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2. Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari pada penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber peng-ambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpunan bagi hadis yang mereka riwayatkan).
4. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya di-sertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.
Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis para sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing; kemudian, untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.




نـوم الصـائم عبـادة
2865. نـوم العالـم عبادة : ذكـره الغـزالي في إحياء حديـثا في كتاب الاوراد بزيادة نفسـه تسبيح ولم يذكـر له صحابيا ولا مخـرجا. وكذالك العـراقي في تخريجـه وإنما قال المعـروف فيـه الصـائم بدل العالـم كما تقـدم في: الصائم انتـهي.
وقال فـيه هناك رويناه عن عبد الله بن عمر بسند ضعيف و لعلـه عبد الله بن عمرو قال ورواه الديلمي في مسند الفـردوس من حديث عبد الله بن أوفي وفيه سليمان بن عمرو النخعي أحد الكذابـين انتهى. وقال النجم نـوم العالـم عبادة نفسـه تسبيح و عمله مضاعف ودعاؤه مستجاب – روه الديلمي عن عبد الله بن أوفي وذكره في الجامع الصغير عنـه بزيادة وذنبه مغفـور.

الصــلاة عمـاد الدين
1621. الصـلاة عماد الدين (حديث) قال في المقاصد رواه البيهقي في الشعب بسند ضعيف من حديث عكـرمة عن عمر مرفوعا ونقل عن شيخه الحاكم انه قال لم يسمع عكرمة من عمر. ومثله في تخرجه العراقي لأحاديث الأحياء, وأقول غـزاه في جامع الصغير البيهقي عن ابن عمر, ولفظ البيهقي في الشعب الإيمان كما في أوائل الشـرح الموطأ للسيوطي عن عمرو رضي الله عنه قال جاء رجل فقال يارسول الله أي شيئ أحب الى عبد الله في الإســلام قال الصـلاة لوقتها ومن ترك الصـلاة فلا دين له الصـلاة عماد الدين (انتـهى).
واورده الغزالي في الاحياء بلفظ الصلاة عماد الدين فمن تـركها فقد هدم الدين. وقال في المقاصد ايضا اورده الصاحب الوسيط فقال قال صلى الله عليه وسلم الصلاة عماد الدين, ولم يقف عليه ابن الصلاح فقال في مشكل الوسيـط انه غير معروف. وقال النووي في التنقيح منكرا باطل وقال المنـاوي رده ابن حجر, اي لأن فيـه ضعيفا وانقطاعا فقط وليس بباطل. نبه على ذلك العراقي في حاشية الكشاف وروا الطبراني و الديلمي عن على رفعه بلفظ الصلاة عماد الدين والجهاد سنام العمل وزكاة بين ذلك.
ورواه التيمي في ترغيبه بلفظ الصلاة عماد الاسـلام والقضاعي عن انس رفعه نور المؤمن وله ايضا وللديلمي عن ابى سعيد رفعه علم الايمان الصلاة, واورده الزمخشري في التفسير سورة البقرة.
وعزاه الطيـبي لتخريج الترمذي عن معاذ. وفيه عمودة الصلاة. ورواه ابو نعيـم عن بلال بن يحي قال جاء رجل الي النبي صلى الله عليه وسلم يسأله عن الصـلاة فقال الصلاة عمود الدين وهو مرسل ورجاله ثقات,
وروه بعض الفقهاء بلفظ الصـلاة عماد الدين فمن اقامها فقد اقام الدين ومن هدمها فقـد هدم الدين _ يعني دين نفسـه. رواه الطبـراني عن معاذ بلفظ رأس هذا أميـر الإسـلام ومن اسلم سلم وعمودة الصـلاة وذروة سنامه الجهاد ولايناله الا أفضلهم.

Searching for Solace: A Biography of Abdullah Yusaf Ali -- Translator of the Qur’an.

Title: Searching for Solace: A Biography of Abdullah Yusaf Ali -- Translator of the Qur’an.
Author: M A Sherif
Publishers: Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, Malaysia. (1994. pp.314 Pbk: US$20)
Abdullah Yusuf Ali is best known to English-speaking Muslims as the man who produced a translation and commentary of the noble Qur'an. Just as well. Though a man of great intellect and wide interest, his personal and public lives do not leave a very favorable impression, as this biography so eloquently shows.
Among numerous English translations, Marmaduke Pickthall's and Yusuf Ali's are the most widely-known and used in the world. Yusuf Ali started work on his translation in 1934 and completed it some four years later.
Today, tens of publishers have reprinted his translation, some even taking the liberty of changing it without acknowledging that changes have been made. Why these changes were necessary has not been explained either. Some, like the Saudis, have reprinted the translation with their own imprints as if it was commissioned by king Fahd in person. Such lack of honesty even with so noble a book as the Qur'an is reflective of the pathetic state of those who have imposed themselves on the Ummah.
How Yusuf Ali would have viewed such liberty with his work is not difficult to imagine. It is, however, true to say, as MA Sherif so ably shows in this well-researched and well-documented biography, that the translation of the Qur'an was not the only project that he undertook. In fact, for Yusuf Ali, this did not appear to be the most important task in his life.
A peculiar product of the era of British raj, Yusuf Ali was a pukka sahib par excellence. For him loyalty to the crown was of paramount importance . Religion was a personal matter. It should, therefore, come as no surprise to learn that he married an English woman in a church in England. That the woman should prove unfaithful despite giving birth to four of his children, perhaps best epitomises the relationship between the empire and India.
Sherif traces Yusuf Ali's life from childhood which criss-crossed the lives of other eminent personalties that loomed so large on the Indian scene later: Muhammad Ali Jinnah, Ameer Ali, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jauhar, Fazl-e-Husain, Sikandar Hayat Khan etc. Of these, he found much in common with the last two. Both these men -- and their families -- were the recipients of British largesse and therefore, inimical to the interests of the Muslims in India. They represented the interests of the landed aristocracy which had been rewarded for its services to the raj. This parasitical class is still active in the affairs of Pakistan, reducing it to penury.
Yusuf Ali was also much inspired by Sayyid Ahmed Khan. He tried to emulate him, at least in sofar as loyalty to the empire was concerned, to the fullest. Sherif reveals that from childhood, Yusuf Ali was obsessed with titles. His father, Yusuf Ali Allahbuksh, a Bohra from Surat in Gujrat, had abandoned the traditional occupation of the Bohras -- business -- and gone instead into the police force. On retirement, he was given the title of Khan Bahadur.
True to form, the young Yusuf Ali incorporated this honorary title given to his father into his own name. The British seemed to be charitable, at least to those who pledged unquestioning loyalty to them, to allow such an indiscretion to pass. This could not have been an oversight, as Sherif notes. Yusuf Ali used the name Abdullah ibn Khan Bahadur Yusuf Ali while applying to register at Cambridge university, the Lincoln Inn in London as well as when applying for the Indian Civil Service. 'The Indian Office administrator responsible for processing ICS applications deemed the double-barrelled surname in order and Abdullah ibn Khan Bahadur Yusuf Ali came about.'
His penchant for titles notwithstanding, it was his obsessive loyalty to the crown that set him apart from many of his contemporaries. While he got along well with Iqbal (in fact, it was Iqbal who tolerated his intense loyalty to the crown and offered him the post of principal of Islamia College Lahore at the exorbitant salary of Rs 1300 per month at the time), their views were diametrically opposite.
Iqbal saw Islam as a global religion and the Muslims of India as a distinct community who could get nothing either from the British or the Hindus. For Yusuf Ali religion was a matter for personal salvation. The 'Indian nation' in which both Hindus and Muslims lived amicably, pledging loyalty to the crown, was how he viewed things in life. Just as well that Yusuf Ali was proved so thoroughly wrong.
His education at the best British institutions, admission to the bar as well as selection in the ICS all reinforced his loyalty to Britain. He was an unabashed spokesman and ambassador for the crown all his life. Yet the wily British used him and then discarded him. Yusuf Ali ultimately saw failure both in his personal as well as public life.
His first wife proved unfaithful and left him for another man. Yusuf Ali could not see that infidelity was, and remains an acceptable way of life in the west. His children, too, abandoned and resented him. He was too engrossed in public life currying the favours of the raj to pay much attention to the family. Despite his intense loyalty to the British, they were glad to see his back when he wanted to retire from the ICS.
His greatest disappointment came when he found that the British had reneged on their pledge to the Arabs in Palestine. He suffered their insults and arrogance willingly, something the likes of Jinnah and Iqbal would never have put up with. Why a man of such keen intellect would put up with the Britons' condescension is hard to understand. One can only surmise that his total devotion to everything British blinded him to the reality of life.
Equally shocking is the contrast in his public and private lives. He was known to charm public gat herings. His reputation was not confined to India or Britain alone. It quickly crossed the Atlantic and he found himself in Canada in the autumn/winter of 1938 after his translation was published both in UK and in the US.
He officially opened the first mosque in Canada in Edmonton in December 1938. It was Yusuf Ali who named it Al-Rashid Mosque, perhaps after his son. He left a very favorable impression with all that he came in contact with yet his private life was a total failure. He was a loner in private life. The face of public charm appeared to be an attempt to hide the deeper failure at the personal level.
When he died in London on December 10,1953, he was a pathetic wreck. Disoriented and confused, he was found by the police lying outside the steps of a house. Taken to hospital, he died unsung and unmourned. He was buried in Brookwood Cemetery in Surrey.
That a man of such intellect and promise should end up in so sad a state is tragic indeed. Muslims owe a det of gratitude to Sherif for bringing the truth, some of it quite unpalatable, about the life of a man who is known to the Muslims only as the translator of the Qur'an. The translation is no mean achievement but it is clear that despite his efforts, ultimately Yusuf Ali had learned nothing from the Qur'an itself. That is the greatest tragedy of his life.
Sherif's book offers useful insights into life in British India at the turn of the century. Muslims would do well to study it carefully and to draw appropriate lessons from it.
(Courtesy: Crescent -- 16-30 November 1995)

Kajian Hadis di Indonesia

KAJIAN HADIS DI INDONESIA
Oleh: Sulaiman Ibrahim
Pendahuluan
Di samping Al-Qur’an, hadis juga merupakan sumber hukum Islam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an. Kedudukan hadis sebagai sebagai salah satu sumber hukum Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam.
Amat banyak kasus-kasus hukum yang bersumber dari hadis, karena sebagaimana dipahami bahwa salah satu fungsi hadis adalah penjelas (bayān) atas Al-Qur’an, maka tentu saja untuk kasus-kasus tertentu yang penjelasan tentangnya dalam Al-Qur’an bersifat global, dapat ditemukan rinciannya dalam hadis. Hal ini tidak dapat dipungkiri, misalnya Al-Qur’an menjelaskan shalat, puasa, dan zakat, maka untuk mengetahui cara shalat dan dimensi hukumnya, juga puasa dan zakat semuanya dapat diketahui melalui hadis. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat strategis dalam menjelaskan kandungan Al-Qur’an.
Secara tegas dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi saw (yang identik dengan hadisnya) diberi kewenangan dalam menjabarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Dimaklumi bahwa Nabi saw sebagai pemimpin masyarakat muslim, atau lebih tegas bahwa Nabi saw sebagai kepala pemerintahan, berkewajiban menerapkan hukum-hukum Tuhan, tidak hanya dalam lingkungan masyarakat muslim tetapi juga dalam masyarakat non muslim yang berada dalam lingkungan kekuasaannya.
Lebih lanjut menurut Yusuf al-Qardhawi minimal tiga fungsi hadis terhadap Al-Qur’an dalam masalah hukum yakni; (1) memperkuat hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik yang global maupun yang detail; (2) menjelaskan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, yakni men-qayyid-kan yang mutlaq, men-tafshil-kan yang mujmal, dan men-takhsis-kan yang ‘am; (3) menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an. Untuk fungsi yang terakhir ini, ulama berbeda pendapat.
Berdasar pada uraian-uraian di atas, maka dipahami bahwa Al-Qur’an dan hadis adalah sumber hukum yang integral, tidak mungkin seorang muslim memahami hukum atau ajaran Islam hanya merujuk kepada Al-Qur’an semata tanpa melirik hadis.
A. Metode Kajian Hadis di Indonesia
II. Pembahasan
Dalam beberapa literatur hadis yang berbahasa Indonesia, metode kajian hadis yang dilakukan oleh Kiai, Ulama, Cendekiawan maupun dunia Akademisi tidak ada perbedaan yang dilakukan oleh ulama-ulama yang ada di Timur Tengah saat ini. Walaupun ada, itupun hanya karena faktor keterbatasan bahasa dan literatur yang dimiliki. Karena ulama yang ada di Indonesia, sebagian besar pendidikannya juga berasal dari Timur Tengah, seperti Mesir, Yordan, Sudan, Syiria dan Arab Saudi. Memang diakui, walaupun mayoritas masyarakatnya beragama Islam, Indonesia tidak bisa dijadikan tolok ukur sebagai pusat ilmu atau kajian agama, apalagi ilmu mengenai al-Qur’an dan hadis. Sebagian besar kitab-kitab hadis yang ada di Indonesia hanya sebatas buku dakwah atau salinan hadis-hadis tertentu dan untuk masalah tertentu. Hal ini dimungkinkan, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
(Ingin mendapatkan makalah ini dengan lengkap hubungi penulis)

Kamis, 14 Januari 2010

Petuah Bugis

ewerkdn tomtowea

siboelboelmubo pbiysai aelmu riedeceG

nsb edtugg pd abiyseG.

nebeneG aEK agg cau lEGoai elRoeG

mjEpu aiynhritu abiyseG

pdtoh ebeneG aEK agg cau rEkEai priea

mjEpu yinhritu atEmbiyseG.

elel bulu tEelel abiys

elelmow abiysGE

abiystoph pelelai.

nerko tiyko nedri aow

aj muemlo nedri plow

nsb aiymiPwai jmjmeG nriysE plow

rimuk aEKnai prlow.

المشقة فى السعي إلى العمل لا فى العمل نفسه

ersop tEmGiGi nmlomo neletai pmes edwt esauwea.

(Hanya dengan kerja keras tak kenal lelah menjadi titian

datangnya barokah dari Tuhan Yang Maha Esa.)

Menunda amal kebaikan karena menanti kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan yang mempengaruhi jiwa. (Ibnu Atha’illah)

POLITIK ISLAM DI INDONESIA (Antara Formalisme dan Inklusivisme)

POLITIK ISLAM DI INDONESIA
(Antara Formalisme dan Inklusivisme)

Oleh : Abbas Tekeng
Dosen STAIN Kendari

Abstrak

Politik Islam di Indonesia memiliki banyak perbedaan dan persamaan dengan politik Islam di negara lain. Khas dan kharakter tersebut tidak pernah terlepas dari latar belakang aliran-aliran dalam Islam yang turut mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia, kecenderungan tampilan wajah politik Islam Indonesia memiliki dua bentuk, bentuk yang pertama, terkesan mementingkan symbol-simbol agama dalam negara atau yang biasa disebut dengan formalisme agama, kedua, kelompok yang tidak terlalu mengedepankan simbolisme tetapi lebih mengedepankan substansi(Inklusisme)dalam agama Islam terhadap negara


I. Pendahuluan

Membincang Persoalan politik Islam tidak terlepas dari proses sejarah panjang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia1 yang telah sejak lama melalui pedagang-pedagang dari Gujarat India dan Timur Tengah.
Politik merupakan salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Ilmu politik telah lama secara tidak langsung mengatur penerapan kekuasaan, hubungan antara yang diperintah dengan yang memerintah, serta sistem apa yang pemenuhan kebutuhan akan pengaturan dan pengawasan, sebagai konsekuensi adanya adanya kebebasan pemikiran manusia.
Untuk mencari makna kompromi terhadap Diskurs dalam politik Islam, maka harus ada kebesaran jiwa untuk merekonstruksi makna-makna politik Islam secara luhur dengan menanggalkan atribut-atribut subjektif masing-masing kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi makna-makna tersebut dapat berlaku dan diterima secara independen oleh siapapun. Sehingga benar-benar konsisten dan konsekuen dalam pengembangan makna politik.
Kalau kita surut memperhatikan sumbangan-sumbangan dan artikukasi para penulis Islam pada teori Islam, kebanyakan karya kontemporer yang ditulis oleh para teoritisi muslim berbentuk “Doktrin Politik” bukannya teori politik atau falsafah politik,2 sehingga ada kesenjangan kelompok-kelompok Islam yang berkembang saat ini ingin mengarahkan wacana pemahaman ke-Islamannya kepada pendekatan doktrin politik Islam dengan implikasi realitas adalah lahirnya Islam radikal terus menerus dalam fragmentasi politk aktual/Islam radikal

A. Paradigma Korelasi Agama dan Negara
Pencarian konsep tentang negara oleh para ulama politik mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan, ”bagaimana bentuk negara dalam Islam”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki Konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara(menekankan aspek praksis dan substansial), yakni mencoba menjawab “Bagaimana Isi Negara Menurut Islam”. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsif-prinsif dasar berupa etika dan moral. Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat Muslim dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar tadi.
Kendati kedua maksud tersebut berbeda dalam pendekatan, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni menemukan rekonsiliasi antara idealitas agama dan realitas politik. Realitas antara cita-cita agama dan realitas politik menjadi tugas utama pemikiran politik Islam. Hal ini merupakan tuntutan, karena hubungan antara agama dan politik pada giliran berikutnya antara agama dan negara dalam kenyataan sejarah sering menampilkan fenomena kesenjangan dan pertentangan. Fenomena ini bersumber pada dua sebab yaitu (a). Adanya perbedaan konseptual antara “ agama” dan “Politik” yang menimbulkan kesukaran pemanduan dalam praktek; (b). Adanya penyimpangan praktek politik dari etika dan moralitas agama. Solusi yang ditawarkan para ulama politik, baik pada masa klasik maupun masa modern terhadap kesenjangan hubungan agama dan negara tersebut sangat beragam, sejalan dengan keragaman setting sosio-kultural dan politik yang mereka hadapi. Karenanya, konsepsi pemikir Islam tentang negara tidak luput dari dimensi kultural dan dimensi politik.
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai Paradigma Hubungan dan negara, Makna Politik Islam adalah sebagai berikut: Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.dengan demikian maka dapat kita katakan bahwa makna3 Politik Islam ialah aktivitas Politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.
Dalam pemikiran politik Islam, paling tidak terdapat beberapa paradigma mengenai hubungan agama dan negara. Nuansa diantara ketiga paradigma ini terletak pada konseptualisasi yang diberikan kepada kedua istilah tersebut. Kendati Islam di fahami sebagai agama yang memiliki totalitas dalam pengertian meliputi segala aspek kehidupan manusia termasuk politik, namun sumber-sumber Islam juga mengajukan pasangan istilah seperti Dunya-akhirah(Dunia dan Akhirat), Din daulah(Agama Negara), atau umur ad-dunya-umur addin(urusan dunia urusan agama). Pasangan istilah-istilah tersebut menunjukkan adanya perbedaan konseptual dan mengesankan adanya dikotomi.4
Paradigma pertama, memecahkan masalah di kotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan(Integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar”kedaulatan Ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.
Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Paradigma pemikiran politik Syi’ah memandang bahwa negara(Istilah yang relevan dalam hal ini adalah Imamah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan danmempunyai fungsi keagamaan. Menurut pandangan Syi’ah berhubung legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Muhammad, legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi.
Paradigma “Penyatuan” agama dan negara juga menjadi anutan kelompok “Fundamentalisme Islam” yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsifil. Paradigma fundamentalisme menekankan totalitas Islam, yakni Islam meliputi segala aspek kehidupan. Menurut salah seorang tokoh kelompok ini, Al-Maududi, syariat5 tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau agama dan negara. Syariat adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.6
Bentuk realitas politik yang pertama ini, antara skripturalistik dan rasionalistik. Pola politik ini memakai al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber teori dengan mencari makna literal atau teks sehingga kelihatan tanpa interfretasi penafsiran lebih substansial terhadap ayat Qur’an dan Hadist.
Paradigma kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan tentang simbiosa agama dan negara ini dapat ditemukan, umpamanya dalam pemikiran al-Mawardi, seorang teoritikus politik Islam terkemuka pada masa klasik, Pada baris pertama dari karyanya yang terkenal, al-Ahkam al-Sultaniyyah’, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara(Imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi ke nabian, guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dan misi kenabian.
Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syariat(agama), mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti diisyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan dan kepatutan politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya mengenalkan sebuah pendekatan prakmatik dalam menyelesaikan persoalan politik kala dihadapkan dengan prinsip-prinsip agama. (Ingin Memiliki Makalah ini lengkap hubungi: 081342005625

TAFSIR SUFISTIK AL-GHAZALI:Kajian dalam Kitab Jawahir Al-Qur`an

TAFSIR SUFISTIK AL-GHAZALI:

Kajian dalam Kitab Jawahir Al-Qur`an

I. Pendahuluan

Kita melihat bahwa keahlian seseorang dalam disiplin ilmu tertentu secara eksplisit lebih mewarnai tafsir yang ditulisnya. Sebagai contoh kecil, para ahli nahwu lebih menekankan masalah I`rab dan memberi uraian panjang tentang hal-hal yang berkaitan denan cabang-cabang ilmu tersebut. Ini bisa kita lihat dalam tafsir yang menulis Abu Hayyan yang menulis tafsir al-Bahr al-Muhith. Para ahli filsafat memusatkan perhatian mereka para pemikran-pemikiran filosof, sambil mengunkapkan kesalahan-kesalahan mereka dan sekaligus mengungkapkan bantahan sebagai contoh tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Razi. Begitu pula para penganut mazhab-mazhab keagamaan dan aliran-aliran sufi juga menulis berbagai tafsir yang menekankan pada upaya mencari alasan kebenaran terhadap mazhab dan tarekat sufi mereka masing-masing, pendek kata setiap ahli dalam bidang kajian tertentu atau pendukung mazhab tertentu mereka terpanggil untuk menulis tafsir sesuai bidangnya masing-masing untuk mengukuhkan mazhab mereka.

Kecendrungan rasionalistik dalam penulisan tafsir ini berkembang terus dalam masa ke masa, bahkan pada zaman moderen sekarang ini pun terdapat banyak tafsir yang berusaha mengungkap berbagai macam ilmu dalam al-Qur`an. Para penulis tafsir tersebut beranggapan bahwa hal itu seakan-akan merupakan salah satu aspek dari kemu`jizatan al-Qur`an dan bukti elastisitasnya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

HERMENEUTIKA TEKS

HERMENEUTIKA TEKS;

Sebuah Tawaran Metode Tafsir al-Qur’an

Oleh: Sulaiman Ibrahim

Abstrak

Hermeneutika al-Qur’an adalah suatu penafsiran rasional “bebas terkendali” dalam rangka memahami al-Qur’an dengan kontekstual. Walaupun Hermeneutika sebuah metode dari Barat, tetapi bukan berarti tidak bisa dipakai untuk manafsirkan sebuah teks al-Qur’an. justru hal ini membuahkan sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional

Kebutuhan Sebuah Penafsiran

Sepanjang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, tidak ada teks yang sakral. Sebab ilmu pengetahuan berkembang dengan cara mengkritik yang lama dan melahirkan yang baru. Sakralisasi teks mungkin diperlukan oleh orang awam supaya tidak bingung, sebagaimana mereka perlu pemimpin, apabila tidak ada pemimpin mungkin pemandu, yaitu teks-teks. Tapi ketika sudah dewasa, orang harus tahu bahwa sakralisasi bisa mempersempit Islam itu sendiri.[1]

Modernisme Islam atau pembaharuan dalam Islam selama ini dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan paham-pahaDm keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang timbul atau ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Atau, yang dimaksud dengan modernisme Islam adalah upaya memperbarui penafsiran, penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis sesuai dan sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi.[2]

Dalam sejarah perkembangan modernisme Islam terdapat suatu gagasan utama yang selalu dicetuskan oleh oleh para tokoh pembaru, modernis, yaitu kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Muhammad Abduh, misalnya, dengan serius mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan berpegang teguh dengannya, dan perlunya penafsiran/interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, sesuai dan sejalan dengan tuntunan dan perkembangan zaman.[3]3 Sehubungan dengan gagasan utama modernisme Islam, semua pihak, terutama tokoh-tokoh modernis, sepakat dan antusias untuk mengoperasionalisasikan dan melaksanakannya. Mengingat perlunya penafsiran atau interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, khususnya al-Qur’an, maka mau atau tidak mau terlibatlah apa yang disebut tafsir.

Al-Qur’an, sebagaimana diyakini umat Islam, adalah kalam Tuhan yang menyimpan segala petunjuk dan ajaran-Nya, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia yang umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasarnya. Dan tafsir dipandang dari segi eksistensinya yang sangat melekat dengan al-Qur’an sungguh amat penting dan utama. Kepentingan dan keutamaan tafsir amat terasa apabila dihubungkan dengan keharusan umat Islam untuk memahami kandungan atau makna ajaran-ajaran al-Qur’an. Memahami segala kandungan al-Qur’an merupakan perintah Allah Swt. (QS. 38: 29) dan (QS. 4: 82).

Demikian penting upaya memahami dan merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, demi mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga darinya. Untuk sampai pada tingkat pengamalan dan pelaksanaan segala petunjuk, ajaran dan aturan serta norma al-Qur’an tidaklah mudah, kecuali setelah memahami dengan sebaik-baiknya segala nasehat dan petunjuk al-Qur’an, serta menghayati prinsip-prinsip ajarannya, karena semua itu termuat dalam kemasan bahasa Arab yang beruslub tinggi. Hal ini menurut al-Zarqani, jelas diperlukan tafsir. Tanpa tafsir, tidak akan diperoleh apa-apa yang terkandung dalam khazanah al-Qur’an.[4]

Dalam rangka penafsiran baru al-Qur’an sesuai dengan konteks kekinian dan kemoderenan zaman, tafsir yang lebih diperlukan ialah tafsir yang bercorak rasional, yaitu tafsir yang disebut dengan istilah tafsir al-Qur’an bi al-ra’y (dengan menggunakan akal) atau tafsîr al-Ijtihâd.[5] Di samping itu diperlukannya perpaduan antara pemikiran-pemikiran yang memberi interpretasi pada wahyu (tafsir bi al-Ma’tsur)[6], dengan interpretasi rasional “liberal” dalam hal ini “hermeneutik”.[7]

Hermeneutik dalam Penafsiran Teks (al-Qur’an)

Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dalam kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia, model ini dikenal dengan Ilmu Tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak mutlak hanya milik kaum penafsir kitab suci saja, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin ilmu yang luas. Bentuk hermeneutik dalam suatu kajian mulai berkembang pada abad ke-17 dan ke-18.[8]

Kajian hermeneutik sebagai suatu bidang keilmuan mulai marak pada abad ke-20. Diskursus kajian hermeneutik semakin berkembang, ia tidak hanya mencakup pada bidang kajian kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan telah berkembang jauh pada ilmu-ilmu lain. Adapun ilmu-ilmu yang berkaitan erat dengan hermeneutik adalah sejarah, hukum. Filsafat, kesusasteraan dan lain sebagainya, yang tercakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.[9]

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneueia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.[10] Istilah hermeneutik merujuk pada mitos Hermes (Dewa Yunani) yang bertugas menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia.menurut Hossein Nasr sebagaimana yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, Hermes tak lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebut dalam al-Qur’an.[11] Sementara menurut cerita yang beredar di kalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukan tenun. Jika propesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang Dewa Hermes, di sana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenung” atau “memintal” yang dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang dinisbahkan pada Hermes.[12] Jadi, kata hermeneutika adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks. Bagi Nabi Idris atau Dewa Hermes, ketika persoalan pertama yang dihadapi adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar bisa dipahami manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”.[13]


(Ingin memiliki tulisan ini dengan lengkap hubungi kami)

[1]Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003) h. 118

[2]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5

[3]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5

[4]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Musthafa al- Babi al-Halabi, tth.) jilid II, h. 6

[5]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, h. 11

[6] Menurut al-Dzahabi al-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan: (a) ayat-ayat al-Qur’an, (b) riwayat yang berasal dari Rasulullah Saw. (c) riwayat dari sahabat, dan (d) riwayat dari para tabi’in. Lihat Al-Dzahabi, I, h. 152.

[7]Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita sekarang. Ini melibatkan aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi-asumsi epistimologis tentang pemahaman. Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan harapan sendiri, dan adalah masuk akal untuk menuntut penafsir menyisihkan subjektivitas dirinya dan menafsirkan suatu teks tanpa pemahaman dan pertanyaan awal yang dimunculkannya. Lihat Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Terjemahan dari: Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Penerjemah: Watung A. Budiman. (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), h. 83.

[8]E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Masalah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 26. Lihat juga M.Alfatih S. “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis” (IAIN Yogyakarta, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. I, no. 2, 2001) h.36.

[9]M.Alfatih S. “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis”, h. 39.

[10] E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h. 23. ditambahkan bahwa untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi inilah menimbulkan “lingkaran hermeneutik”.

[11]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004) cet. II, h. 137.

[12]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004) cet. II, h. 137.

[13]Lihat Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 138. Menurut Van A. Harvay, kaitan antara kata “hermeneutika” dengan “Hermes” merefleksikan sebuah struktur triadik dari profesi penafsiran, yaitu: sebuah tanda, pesan atau teks dari beberapa sumber yang memerlukan seorang mediator atau penafsir (Hermes) untuk menyampaikannya kepada audiens.